Sabtu, 27 Desember 2008

"KADO PAHIT AKHIR TAHUN, UMAT ISLAM"

Kebrutalan teroris Israel tak pernah berhenti membunuh kaum Muslim. Pesawat tempur penjajah Israel meluncurkan serangan udara besar-besaran pada hari, Sabtu (27/12/08), membunuh setidaknya 255 orang warga dan melukai 600 orang lainnya. Serangan brutal teroris Israel ini dilakukan selang dua hari setelah Menlu Israel berjabat tangan dengan penguasa Mesir, seolah sebagai restu untuk melakukan pembunuhan terhadap kaum Muslim Palestina. [plus foto]

Pesawat temput F-16 secara bersamaan menembakkan lebih dari 30 rudal yang ditujukan pada 30 target terpisah di Gaza, kata seorang pejabat keamanan Palestina. TV Al-Arabiya menunjukkan cuplikan para penyelamat untuk membantu warga yang terluka akibat kebiadaban teroris Israel itu. Ratusan mayat tersebar di lantai dan kepulan asap di atas area tersebut, menyebabkan kekacauan dan kepanikkan.  

Militer teroris Israel tidak segera berkomentar atas serangan teroris mereka itu, yang mengikuti keputusan kabinet keamanan teroris Ehud Olmert untuk membalas dendam serangan roket Palestina di Israel. 

Hari demi hari, setelah jeritan kaum Muslim Palestina akibat kelaparan dan blokade, derita itu terus berlanjut dengan pembantaian atas mereka. Hingga hari ini pula, para penguasa Muslim dan tentara Muslim dunia berdiam diri. Entah, apakah yang akan mereka katakan, ketika di akhirat kelak, seorang anak Palestina berkata, "mereka telah menelantarkan kami, hingga kami terbunuh..., di manakah kalian?"

Pembantaian 27/12/08:

Kamis, 11 Desember 2008

Sejarah Yang Terus Berulang

Sejarah manusia ternyata memiliki kecenderungan yang sama. Pola sejarah selalu berulang antara satu masa dengan masa yang lain dan tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Dari milennium ke milennium, dari abad ke abad, dari tahun ke tahun, dari belahan bumi manapun, dari bangsa dan suku apapun, sejarah memiliki sifat dan bentuk yang serupa. Memang ada perbedaan, tetapi perbedaan ini hanya karena bentuk dan macam peradabannya, bukan dalam hal-hal yang mendasar dan substansial. Artinya, sejarah secara substansial adalah sama, karena pembuat sejarah adalah manusia, dimana manusia memiliki sifat umum yang serupa, kapanpun dan dimanapun manusia itu hidup. Maka sudah semestinya kita, sebagai kaum yang mengaku memiliki peradaban paling canggih dan modern, menggunakan sejarah sebagai tempat untuk berkaca diri, belajar dari orang-orang yang lebih dahulu hidup, dan tentu saja tidak mengulangi kesalahan – kesalahan yang sama, sebagaimana yang telah dilakukan oleh orang-orang di masa lalu.
Sejarah masa lalu, ternyata bukanlah sejarah dengan teknologi kuno dan terbelakang sebagaimana yang selama ini digambarkan oleh sebagian orang. Sejarah masa lalu manusia telah mencapai kemajuan peradaban yang sangat luar biasa, dan kita sebagai generasi penerus, masih sering terkagum-kagum dengan peninggalan-peninggalan masa lampau. Bentuk arsitektur, teknologi, seni atur ruang, rancang bangun, tata kota dan pemerintahan telah menunjukkan sebuah rumusan dengan ketelitian dan kerumitan yang tinggi, dan tentunya sangat luar biasa untuk dilakukan pada masa itu. Cobalah kita bayangkan bagaimana candi Borobudur, Piramida dan patung Sphinx Mesir, Taman gantung Babilonia, Tembok besar Cina, ataupun Colleseum Roma, direncanakan, dirancang, dibangun dan hingga akhirnya diwujudkan. Sungguh sebuah peradaban yang sangat luar biasa. Sungguh manusia di masa lalu telah mencapai sebuah peradaban yang sangat mencengangkan.
Bahkan, kita akan semakin tercengang dengan penemuan-penemuan luar biasa belakangan ini tentang catatan-catatan dan peninggalan masa lampau yang menunjukkan bahwa peradaban – peradaban tahun 10.000-15.000 SM di Mohenjodaro dan Gangga(India) , Atlantis, Mesir, dan sebagian Afrika telah menemukan wahana terbang, senjata nuklir, dan lampu pijar, yang pada peradaban kita baru saja kita patenkan di abad 19 dan 20. (sumber: www.jurnal-dipta.com). Sungguh, manusia telah mencapai masa-masa gemilang puluhan ribu tahun sebelum peradaban modern kita.
Kini pertanyaan besarnya adalah, mengapa peradaban itu runtuh, musnah, hancur atau bahkan tidak mampu sedikitpun menurunkan ilmu dan teknologi yang telah mereka dapat di masa itu kepada masa sesudahnya ? Mengapa kita harus susah payah lagi menemukan reaktor nuklir, listrik, lampu pijar dan pesawat terbang bila pada masa lampau manusia telah menemukannya dan menggunakannya ? Jawabannya ternyata tidak susah. Kita pasti sudah tahu. Jawabannya adalah karena kemajuan dan kecerdasan mereka, manusia di masa lampau, kemudian membuat mereka sombong, takabur, dan melupakan Allah sebagai Tuhan pencipta semesta alam. Kesombongan dan kecongkakan mereka termanifestasi pada perilaku mereka yang jauh dari kesan religiusitas, seperti seks bebas, ateisme, mabuk-mabukan, berpakaian yang memamerkan aurat, perebutan kekuasaan, penjajahan, perbudakan, pelacuran, mempertontonkan kekerasan dan pembunuhan, campur aduknya pergaulan pria-wanita, hingga prilaku homoseksual dan lesbian. Peradaban Mohenjodaro hancur karena perang nuklir yang menyebabkan mereka semua mati karena radiasi nuklir, Mesir hancur karena menuhankan rajanya, Romawi hancur karena perebutan kekuasaan, kecintaan mereka terhadap pelacuran dan pameran kekerasan, Pompeii di Italia hancur karena perbuatan homoseksualitas dan seks bebas yang meraja lela bahkan mereka lakukan di jalan-jalan, dsb. Allah-lah yang menghancurkan mereka melalui tangan mereka sendiri, musuh yang tiba-tiba datang, bencana alam dan adzab yang datang bertubi-tubi, gempa dan terbaliknya bumi tempat mereka berpijak, ataupun melalui terjangan lahar panas dari gunung berapi sebagaimana kota Pompeii.
Setelah puncak kemaksiatan itu tercapai, maka dunia kembali sunyi dan seimbang dengan hancurnya peradaban itu. Dunia kembali harus mengais-ngais ilmu pengetahuan dan teknologi karena catatan-catatan penemuan mereka tidak tersisa sedikitpun. Dunia kembali ke zaman pra sejarah, hingga kemudian tercapai puncak kemaksiatan berikutnya. Sekali lagi kehancuran menghampiri mereka, dan muncullah peradaban baru yang menggantikan dominasi peradaban sebelumnya.
Hal ini pun terjadi pada masa Rasulullah saw lahir, dimana dunia sedang dalam kondisi kemaksiatan yang sangat dahsyat. Pelacuran, pembunuhan, penyembahan berhala, perebutan kekuasaan, budaya-budaya yang kufur dan jahiliyah merajai setiap sudut pikir masyarakat dunia. Masyarakat mengenal Allah sebagai Tuhan, tetapi hal itu tidak menjadikan mereka beraqidah Islam. Mereka melakukan ritual-ritual yang mereka ciptakan sendiri, mereka berhukum dengan hukum ciptaan mereka sendiri, mereka melakukan riba, mengurangi timbangan, menipu, mencuri, memperbudak, dan segala prilaku maksiat yang sangat buruk.
Ketika Islam datang, peradaban itu tidak dihancurkan dengan adzab, tetapi dihancurkan dengan munculnya ideologi yang baru, yaitu Islam. Untuk itulah, Islam datang sebagai rahmatan lil alamin. Ketika Islam datang, semua peradaban yang jahiliyah dan kufur dihapuskan. Digantikan dengan peradaban Islam yang mulia dan adil.
Sejak saat itu, dunia mengakui kebesaran peradaban Islam. Berbagai kemajuan dan ketinggian teknologi tercipta dengan landasan ideologi baru ini. Ilmu pengetahuan berkembang sangat pesat, kesejahteraan masyarakat meningkat, keadilan dan kemakmuran merata, penjajahan dihapuskan, dan hukum kafir ditinggalkan.
Hal ini berlangsung begitu lama, kira-kira selama 1300 tahun hingga kemudian benteng terakhir kekhilafahan Turki Utsmani dihancurkan oleh pasukan sekutu di tahun 1924.
Setelah kehancuran kekhilafahan Islam ini, dunia perlahan-lahan kembali menjadi mercusuar kemaksiatan terhadap Allah. Muncullah ide-ide kufur seperti Demokrasi, HAM, Nasionalisme, Pluralisme, Kapitalisme, Sekularisme, Komunisme, dsb yang menuntun manusia kepada jalan yang dimurkai Allah.
Kini, prilaku yang dulu kita benci dan yang telah dihancurkan oleh Rasulullah kembali tumbuh subur dan menjadi budaya yang ada ditengah-tengah kaum muslim. Manusia kembali berhukum dengan hukum ciptaan mereka sendiri, bergaul secara campur aduk antara pria-wanita, melakukan riba, mengurangi timbangan, penipuan, pencurian, pelacuran, pembunuhan, penyembahan berhala, perebutan kekuasaan, dan segala prilaku maksiat yang sangat buruk. Nah, tanpa kita sadari kita kembali menjadi kaum jahiliyah. Tanpa kita sadari pula, sejarah telah berulang untuk kesekian kalinya.
Sekarang, kita hanya bisa berharap adzab Allah tidak ditimpakan kepada kita. Untuk itulah, kita harus segera memutuskan. Mulai sekarang, saat ini, dan untuk selamanya. Berada di pihak Abu Lahab, ataukah berada di pihak Abu Bakar. Berkubang dalam kekufuran, atau berjuang dalam dakwah demi tegaknya Islam kembali.
Bersegeralah saudaraku, karena belum tentu kita bisa seperti Abu Sufyan yang masih diberi kesempatan untuk bertobat dari lubang kejahiliyahan....
Irfan S. Roniyadi

Selasa, 28 Oktober 2008

Degradasi Moral

Suatu ketika, ada salah seseorang yang berbincang dengan seorang redaktur senior. Dalam pembicaraan singkat tersebut, mereka melemparkan joke tentang kasus salah tangkap polisi terhadap Kemat cs. Diekspos secara gencar di media massa dan elektronik, kemudian mereka menuangkan pandangan tentang topik tersebut di salah satu surat kabar. 
"Isin tenan. Ini kasus yang kesekian," tutur salah seorang dari mereka kepada redaktur tersebut. 
"Tak mengherankan. Sebab, bangsa kita mengalami degradasi moral yang amat akut," timpalnya.
Kata degradasi moral itulah yang kemudian mereka garis bawahi dan membuat mereka merenung agak lama seusai perbincangan tersebut. 
Tidak hanya dalam institusi seperti Polri, bahkan segala aspek masyarakat kita pun telah mengalami penurunan moralitas yang kronis. 
Dalam kasus salah tangkap itu, betapa polisi sangat ceroboh dalam bertindak. Mereka telah mencederai aturan main yang bahkan mereka buat sendiri. Entah atas alasan ingin kasus tersebut segera tuntas atau mendapat pujian masyarakat luas karena pelaku cepat tertangkap, polisi masih saja menggunakan "cara lama" untuk mengungkap suatu kasus. 
Bangsa kita selalu senang menggunakan kata "profesional" dalam setiap motonya. Nyatanya, itu seperti kosmetika belaka. Suka memakai tapi tak paham betul substansinya. Celaka.
Bangsa kita terjebak oleh arus kapitalis. Masyarakat kita kembali diingatkan pada torehan pena pujangga Ronggowarsito: yen ora melu edan, ora keduman (jika tak ikut gila, tak kebagian). Serakah, itulah gambaran bangsa kita sebenarnya. 
Jatuhnya moralitas bangsa ini memang tak seheboh terpuruknya pasar finansial global. Namun, perlahan tapi pasti, bangsa ini akan terbawa gaya gravitasi alias menukik. 
Kita dengan mudah terlalap iklan. Gaya hidup konsumerisme dan hedonisme nyaris tak terlepaskan dari masyarakat kita. Kita terkungkung pada kemasan, tanpa mengindahkan substansi isi. Beli karena keinginan, bukan kebutuhan, itulah bangsa ini. Orang kita mengaku pintar, tapi mudah diperalat orang asing. Bangsa ini mengaku kaya, tapi kekayaan melimpah itu tidak dinikmati oleh warganya.
Banyak guru yang berteriak atas nama perjuangan hati nurani untuk nasib mereka, tapi mutu pendidikan negeri ini tak kunjung membaik. Kita saling menyalahkan antara birokrasi dan individu tanpa mau instrospeksi terhadap titik kelemahan yang tentu saja mutlak kita miliki. Wajar jika wajah pendidikan bangsa ini begitu buram. Sebanyak 210 juta populasi di Indonesia menjadi salah satu angka terpadat di dunia. Sayang, angka buta huruf, kemiskinan, dan pengangguran tercatat sangat tinggi dibandingkan negara di tingkat Asean saja. Masya Allah.
Allah tak pernah salah membuat takdir atas sebuah bangsa. Sebab, tidaklah nasib suatu kaum itu berubah, kecuali mereka mengubahnya sendiri. Artinya, Allah pun mengajarkan kita mandiri dan tak putus berusaha. 
Itu sesuai dengan firman Allah SWT: ”Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sehingga mereka berusaha untuk mengubah keadaan mereka sendiri.” (Ar-Ra’du: 11).Ketika kejujuran menjadi barang langka di negeri ini, akankah masih ada orang yang tulus ingin mengoleksinya? Kejujuran adalah benang merah untuk menambal degradasi moral tersebut. Bukan hanya bangsa ini, tapi juga hati kita, hamba Tuhan yang tak luput dari khilaf dan dosa. Jujur itu mudah, tapi bersuara jujur di negeri ini justru dimusuhi. Sudahkah kita jujur pada diri sendiri?

Mujianto

Minggu, 07 September 2008

PENEGAKAN SYARIAT ISLAM DALAM KONTEKS KEINDONESIAAN : SEBUAH TINDAKAN AHISTORIS ?

 Sebuah tulisan untuk menjawab, menolak, dan mendialogi tulisan Moh. Mahfud MD, Hukum Nasional Yang Islami di rubrik Tadarus, Harian Jawa Pos, terbitan tanggal, 04/09/2008

Hingga hari ini, dialog penegakan syariat Islam memang terus berjalan. Berbagai opsi yang muncul diantara para pemegang ahlus sunnah ini adalah bagaimana konteks syariat Islam yang dijalankan dan diberlakukan dalam sebuah negara. Sebagian mengusung penegakkan Khilafah, sebuah institusi negara yang dianggap paling representatif untuk menaungi pemberlakuan syariat Islam dalam sebuah Daulah (negara), beberapa yang lain, masih ingin bertahan dengan bentuk negara Republik Demokrasi, mungkin mengacu kepada negara Republik Islam Iran, dan sebagian yang lain, lebih menekankan pada pemberlakuan syariat Islam kepada sistem ekonomi dan hukum. Kesemuanya dilakukan sebagai bentuk kecintaan umat Islam kepada Islam, dan bentuk kepatuhan umat terhadap Al Qur'an dan As Sunnah.
Tetapi tak dapat dipungkiri pula, bahwa diantara umat Islam sendiri, khususnya para akademisi dan cendekiawan - yang sampai sekarang masih mengaku – muslim di berbagai Universitas ataupun Departemen tertentu, rata-rata sarjana dari barat ataupun murid dari para sarjana barat, menggunakan nama Islam Liberal ataupun Islam Pluralis, dimana menurut mereka lebih mengusung keberagaman, pluralisme dan inklusifitas. Mereka ini, yang kemudian buah pikirannya lebih diterima oleh para pemilik media Nasional, yang kemudian terus mempertanyakan sisi historis dari penegakkan syariat Islam, baik dari sisi sejarah Islam sendiri, maupun dari sisi sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Mereka berpendapat, bahwa syariat Islam tidak lagi sesuai dengan modernitas, tidak lagi sesuai dengan kemajemukan bangsa, ataupun yang menurut penulis di rubrik Tadarus Jawa Pos itu, tidak sesuai dengan mainstream (arus utama) pemikiran Islam di Indonesia yang menurutnya, diwakili oleh dua ormas Islam terbesar yaitu Nahdlatul ulama dan Muhammadiyah. Menurutnya, dua ormas besar ini kini tidak lagi memperjuangkan tegaknya syariah Islam di Indonesia. Dalam tulisannya itu, M. Mahfud bahkan mengatakan ketidak berhasilan perjuangan penegakan Syariah Islam sejak tahun 1945 dalam rapat BPUPKI, 1956-1959 dalam sidang Konstituante, hingga 1999-2002, karena tidak semua umat dan tokoh Islam menyetujuinya.
Menurut hemat penulis, seharusnya muncul sebuah pertanyaan besar bagi orang-orang yang mengaku berlatar belakang NU dan Muhammadiyah tetapi tidak mau memperjuangkan tegaknya Syariah Islam di Indonesia. Hal ini, justru sangat ahistoris, karena sejarah berdirinya NU disebabkan oleh tidak terakomodasinya suara para kiai tradisional pada waktu itu, oleh utusan yang dikirim ke Arab Saudi untuk membicarakan tegaknya Khilafah kembali, setelah Khalifah di Turki dijatuhkan oleh Inggris. Begitu pula Muhammadiyah, yang ketika didirikan dimaksudkan sebagai gerakan purifikasi ajaran Islam, dimana syariat adalah sebuah ajaran Islam yang murni datang dari Al Qur'an dan As Sunnah. Kedua gerakan ini kemudian menyatu dalam Masyumi, partai Islam pertama di Indonesia yang mengusung satu suara, tegaknya Syariah Islam di Indonesia di tahun 1955. Ketidak setujuan penggunaan kalimat “dengan kewajiban menerapkan syariat Islam oleh pemeluk-pemeluknya” justru muncul dari para tokoh Nasionalis Sekuler yang kemudian didukung oleh orang-orang non Muslim. Bahkan perubahan sila pertama di Pancasila menjadi “hanya” Ketuhanan Yang Maha Esa ini, tanpa melalui mekanisme musyawarah ataupun persetujuan dari para penggagas Piagam Jakarta. Jadi keterangan bahwa tokoh Islam di BPUPKI tidak semua setuju adalah sesat dan menyesatkan. Yang sesungguhnya terjadi adalah adanya pertentangan antara para tokoh Islam dan para tokoh Nasionalis Sekuler akan bunyi sila pertama dalam Pancasila. Meskipun para tokoh Nasionalis Sekuler itu beragama Islam, tetapi mereka tidak pantas disebut sebagai tokoh Islam, karena sedetikpun mereka tidak pernah memperjuangkan Islam dan tegaknya Islam di Indonesia.
Begitu pula perjuangan penegakan syariat Islam di Dewan Konstituante hasil dari Pemilu 1955, yang notabene sebuah lembaga pembuat undang-undang, mengalami kegagalan dan berlarut-larut karena berbagai kesalahan fatal yang diantaranya adalah :
Melibatkan orang-orang yang tidak memiliki kapabilitas Mufassirin dan Mujtahid atau bahkan non muslim dalam membuat hukum negara. Hal ini menyebabkan terjadi pertentangan yang sengit diantara anggota konstituante karena ketidak pahaman mereka terhadap hukum Islam.
Syariat Islam dalam dewan konstituante merupakan satu opsi yang menjadi pilihan, bukan hal yang mendasari pembuatan undang-undang. Sehingga, tentu saja penegakkan syariat Islam mendapat perlawanan dari orang-orang yang tidak suka dengan Islam.
Dari sidang yang berlarut-larut itulah, memberikan legitimasi pada Soekarno untuk mengeluarkan Dekrit Presiden sehingga Dewan Konstituante dibubarkan dan negara kembali mengadopsi UUD 45 sebagai undang-undang. Kembalinya ke UUD 45 ini menunjukkan kekalahan telak dari para pejuang tegaknya Syariah Islam di Indonesia, karena UUD 45 adalah sebuah undang-undang yang sekuler dan pada pelaksanaannya sangat sarat dengan penyimpangan.
Meskipun dewasa ini NU dan Muhammadiyah tidak lagi menampakkan wajah lama mereka, itu lebih dikarenakan keberhasilan (dan kegagalan sekaligus) sistem pendidikan sekuler di Indonesia yang dikemudian hari menciptakan individu-individu yang tidak Islami dari segi ideologi. Apalagi ditunjang oleh pelajar-pelajar Indonesia yang belajar Islam di negeri para orientalis, dan bukannya ke Mesir atau negeri Arabia, semakin mengokohkan ideologi sekuler di kalangan pemuda NU dan Muhammadiyah. Tetapi meskipun begitu, tidak semua anggota ormas tersebut anti penerapan Syariah, karena di dalam internal mereka juga terjadi perbedaan pandangan dalam hal syariah ini, utamanya bagi kaum muda dan kaum tua.
Pernyataan M. Mahfud bahwa hukum Islam yang diperjuangan oleh sebagian umat Islam hanyalah fiqh hasil ijtihad fuqaha' juga sebuah pernyataan sesat dan menyesatkan, karena syariat Islam hukumnya jelas, baik secara Sunnah Rasul maupun dalam Al Qur'an. Kiranya tidak mungkin penulis menulis semua dalil tentang ini dari berbagai hadis sahih dan ayat-ayat Al Qur'an, tetapi hal ini sangat menunjukkan adanya penggembosan dan pembodohan umat oleh para pemimpinnya.
Di akhir artikel tersebut, dengan berani M. Mahfud menyamakan antara hukum yang Islami dengan hukum Islam, yang dengan pernyataan itu, dimaksudkan untuk menghentikan perjuangan penerapan syariat Islam di Indonesia. Menurutnya, Indonesia selama ini telah memberlakukan hukum yang Islami, yaitu secara substansial telah memuat nilai-nilai keadilan, amanah, kejujuran, demokrasi, perlindungan HAM atau fitrah.
Hal ini sangat bertentangan dengan fakta di lapangan, karena bila secara substansial undang-undang kita telah memuat berbagai hal tersebut, seharusnya undang-undang kita mampu menjaga perilaku manusia di dalam negara untuk terus menjaga substansi dari undang-undang itu. Tetapi yang terjadi, penyelewengan terus terjadi, dan kerusakan moral melalui korupsi dan penyimpangan lain terus ada. Bukankah itu tugas dari undang-undang, yaitu menjaga perilaku dari manusia ? Tetapi bagaimana mungkin undang-undang menjaga prilaku manusia bila pembuatnya manusia sendiri ?
Dari tulisan ini, kita bisa belajar, bahwa penegakan syariah Islam tidak hanya perlu, tetapi harus. Penegakan syariah Islam secara substansial ternyata tidak bisa menunjukkan Islam sebagai rahmatan lil alamin, karena Islam baru bisa dikatakan rahmatan lil alamin ketika Islam diterapkan secara kaffah dan eksklusif, bukan secara subtansial ataupun inklusif.
Dan belajar dari kesalahan dewan Konstituante maupun kekalahan Masyumi di pemilu 1955, hal ini menunjukkan bahwa perjuangan syariah Islam tidak bisa melalui proses demokrasi, sebab syariah Islam bukan untuk dipilih, ataupun di jadikan suatu opsi dalam pembuatan undang-undang, tetapi untuk diterapkan. Justru dengan diterapkannya Syariah Islam, maka kemakmuran dan nilai-nilai yang tertulis diatas dapat terjaga dari penyelewengan dan mampu menjaga akhlak dari para pengembannya.

Wallahu a'lam bishawab

Irfan S. Roniyadi

Sabtu, 06 September 2008

AGENDA RAMADHAN LDK-UKKI UMG 2008

I. Pusat informasi ukki dan pelayanan mahasiswa
1. Pendirian posko Ramadhan LDK-UKKI
    - Dimulai hari senin, 08 september 2008
    - Buka dari jam 16.00-17.30 WIB (waktu insane beriman
    - Tempat : Taman kampus UMG
Agenda:
a. Safari ta’jil
Pembagian ta’jil gratis bagi mahasiswa yang datang berkunjung di posko
b. Tilawah spot
Pelayanan pelatihan baca Al-Qur’an bagi mahasiswa yang datang berkunjung di posko
c. Kajian Islam Idiologis
Pelayanan berupa konsultasi seputar ide-ide UKKI dan Islam selama di posko
d. Buka bersama
e. Peminjaman buku gratis
2. kantor kesekretariatan
    - Dimulai senin, 08 september 2008
    - Buka dari jam 09.00-13.00 WIB
Agenda:
Kantor kesekretariatan sebagai tempat penerimaan anggota baru, pusat informasi seputar UKKI dan agenda kegiatannya. Juga tempat pengembalian peminjaman buku selama mataf kemarin.
II. Aksi Simpatik
    - Selasa, 09 september 2008
    - Dari pukul 07.30-08.00 WIB
Format Acara:
Pembagian souvenir dan tips Ramadhan pada mahasiswa, dan pembacaan pernyataan sikap dan seruan di bulan Ramadhon pada civitas akademika.
III. Nonton bareng 9/11
       - Kamis,11 september 2008
       - Dimulai pukul 16.00-17.00 WIB.
Format Acara:
Acara indoor berupa pemutaran film 9/11 denga tema “ dibalik konspirasi global 11 september dalam pencitraan Islam terroris”. Yang diakhiri dengan buka puasa bersama.
IV. Kampus berdzikir
     - Jum’at, 19 September 2008
     - Tempat: masjid Faqih Usman UMG
Format acara:
Acara berupa tausiyah atau materi ISQ dari Pembina UKKI yang di sampaikan sebelum berbuka.
V. MABIT (malam bina iman dan taqwa)
    - Kamis, 11&18 september 2008
    - Tempat: kampus UMG
Format acara:
Training keIslaman semalam bagi anggota UKKI dan MABAyang di akhiri dengan I’tikaf bersama.
VI. Wake Up Call
Kegiatan yang dilakukan untuk membangunkan sahur dengan cara mengirimkan SMS bagi anggota UKKI dan mahasiswa.
Isi sms:
- Bangunkan sahur
- Jadwal imsakiyah hari tersebut
- Mutiara hadist
- Info dan undangan kegiatan UKKI terdekat
VII. Road show lebaran dan kartu lebaran

Wallahu a’lam Bisshawab....
ukki-umg


Kamis, 21 Agustus 2008

Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia

Sistem pendidikan di Indonesia merupakan masalah pelik yang tak berkesudahan. Sistem pendidikan yang dibangun berdasarkan sistem sekular-materialistik ini, diakui atau tidak, akhirnya malah membuat negeri ini tak kunjung bangkit dari keterpurukan nasional.
Hari ini, masalah pendidikan berkutat di mahalnya biaya, rendahnya mutu pendidikan, dan rendahnya kualitas SDM yang dihasilkan. Hal ini masih ditunjang dengan angkat tangannya pemerintah dalam bidang ini, dengan perubahan bentuk badan hukum sarana pendidikan menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN), dan diterapkannya kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
Berubahnya sekolah dalam bentuk badan hukum, menjadikan sekolah bebas untuk mematok harga setinggi-tingginya sebagi alasan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Sekolah menjadi wajib untuk mencari sumber dana pendidikan sendiri. Pemerintah menjadi tidak wajib lagi untuk mensejahterakan sekolah, dan menjamin setiap warganya untuk dengan mudah mengakses pendidikan bermutu.
Akibat paradigma diatas, kualitas kepribadian anak didik di Indonesia pun semakin memprihatinkan. Di ASEAN saja, Indonesia hanya mampu masuk pada tingkat ke 6 untuk indeks pendidikan, diatas negara-negara kecil ASEAN, yaitu Myanmar, Kamboja dan Laos.
Dalam konteks pendidikan Islam, Indonesia dewasa ini memang telah banyak memiliki pondok pesantren modern, dimana memiliki pendidikan Iptek dan Aqidah yang sejajar. Tetapi secara umum, pendidikan Islam selama ini hanya masuk sebagai muatan lokal yang ringan dan tidak signifikan. Pendidikan yang berbasis sekular ini, memisahkan kelembagaan pendidikan agama dengan lembaga pendidikan umum. Dikotomi pendidikan ini, tampak kesan yang sangat kuat bahwa pengembangan pendidikan ilmu kehidupan (Iptek) yang diselenggarakan oleh Depdiknas tidak ada hubungannya dengan pendidikan agama yang diselenggarakan oleh Departemen Agama.
Dalam kurikulum pendidikan umum, pendidikan agama memiliki cakupan yang tidak proporsional dan tidak dijadikan landasan bagi bidang pelajaran lainnya. Sehingga, tujuan pendidikan Nasional yang bertujuan untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya masih merupakan pertanyaan dengan tanda tanya besar.
Hasil dari sistem pendidikan ini memang bisa melahirkan orang yang menguasai sains – teknologi, tetapi gagal dalam mewujudkan kepribadian yang Islami dan penguasaan tsaqafah Islam. Sebaliknya, mereka yang belajar di lingkungan pendidikan Agama memang menguasai tsaqafah Islam dan secara relatif sisi kepribadiannya tergarap baik. Akan tetapi di sisi lain, ia buta terhadap perkembangan sains dan teknologi. Akhirnya sektor-sektor modern (industri, manufaktur, perdagangan, dan jasa ) diisi oleh orang yang awam terhadap agama, sedangkan orang yang mengerti agama terkumpul di dunianya sendiri (madrasah, dosen/guru agama, Depag ), tidak mampu terjun di sektor modern.
Memang, dewasa ini kita banyak memiliki pesantren modern (boarding school) dan sekolah Islam terpadu (fullday school) yang bertujuan untuk melindungi generasi muda dari pendidikan yang salah dan memberikan pendidikan Islam dan Iptek secara terpadu dan sejajar sehingga menghasilkan anak didik yang sesuai dengan harapan.
Kita dapat melihat betapa usaha-usaha itu dilakukan atas kecintaan umat kepada Islam dan generasi penerusnya. Dan tanpa mengurangi rasa penghargaan kita terhadap usaha itu, kita bisa secara obyektif melihat kelebihan dan kekurangan dari sekolah terpadu dan pesantren modern, untuk dapat lebih meningkatkan kelebihan yang dimiliki dan menutupi kekurangan yang ada.
Secara pembiayaan, sekolah-sekolah ini relatif mahal, tidak terjangkau oleh kalangan ekonomi lemah. Materi yang diberikan memang lebih banyak pada tsaqafah Islam dibandingkan sekolah umum, tetapi karena kurikulum pendidikan ditentukan oleh negara, pembentukan Syakhsyiyyah islamiyyah (kepribadian Islam) tidak menjadi program utama, tetapi lebih menekankan pada Ma’arif Islamiyyah (pengetahuan Islam). Pada interaksi lulusan anak didik dengan masyarakat, mereka tidak mampu untuk mengemban ideologi Islam karena aplikasi Islam yang diajarkan hanya pada ibadah ritual dan akhlak semata.
Hal tersebut diatas juga terjadi di sekolah-sekolah umum yang berbasis Islam, baik yang terakreditasi baik maupun sedang. Pendidikan yang memang harus sesuai dengan kurikulum yang berlaku, membuat para pengajar hanya bisa melakukan transfer ilmu dan bukan melakukan pendidikan karena terbatasnya waktu dan kurikulum yang ada.
Pendidikan Islam di Indonesia hingga saat ini tidak terbukti berhasil mencetak generasi yang rata-rata atau mayoritasnya menjadi pengemban ideologi Islam. Yang ada justru sebaliknya, umumnya alumni pondok pesantren ataupun sekolah Islam larut dalam lingkungan masyarakat pergaulannya. Yang bertemu penganut sosialis, menjadi aktivis sosialis kiri, yang bertemu paham sekular liberalis, menjadi aktivis gerakan sekular liberal, dan yang bertemu dengan gerakan Islam, menjadi aktivis gerakan Islam.
Pendidikan Islam yang Sebenarnya (Seharusnya)
Pada dasarnya, sistem pendidikan Islam di dasarkan pada sebuah kesadaran bahwa setiap muslim wajib menuntut ilmu dan tidak boleh mengabaikannya.
Dalam penyelenggaraan pendidikan di sebuah negara, atas dasar tersebut diatas, negara tidak hanya berkewajiban menyediakan pendidikan yang bebas biaya, tetapi juga berkewajiban bertindak sebagai penyelenggara sistem pendidikan yang berkualitas dengan asas pendidikan akidah Islam dan tujuan untuk mengembangkan manusia yang berkepribadian Islam, menguasai Tsaqafah Islam , menguasai ilmu kehidupan yang memadai, yang selalu menyelesaikan masalah kehidupannya sesuai syariat Islam.
Seorang peserta didik harus dikembangkan semua jenis kecerdasannya, intelektual, spiritual, emosional dan politiknya, karena semua itu diperlukan dalam menjalankan kehidupan. Negara juga berkewajiban menyediakan SDM pendidik dan tenaga pendidikan yang berkualitas dan sesuai dengan ilmu yang diperlukan. Untuk itu, sekolah untuk calon pendidik pun harus bermutu dan tersedia fasilitas yang memadai.
Swasta boleh saja menyediakan pula sarana pendidikan, dan dengan pembinaan negara, tidak berarti dengan itu negara bisa berlepas tangan dengan kewajiban pendidikan. Negara berkewajiban pula mendorong peningkatan peran dan kemampuan keluarga dalam mendidik dan mendorong terciptanya suasana kondusif bagi pendidikan di masyarakat.
Insya Allah, dengan metode pendidikan yang didasarkan atas syariat Islam dan hukum Islam, pendidikan Islam di Indonesia akan menjadi sebuah fenomena baru yang mampu menciptakan generasi yang islami dan berkepribadian Islam.
Wallahu a’lam Bisshawab....
Irfan S. Roniyadi

Kamis, 31 Juli 2008

"NEGERI YANG KAYA"

Kalau kita amati Jakarta, apa yang tidak ada di sana..? Gedung tinggi menjulang. Mobil sangat banyak. sampai-sampai terjadi kemacetan di mana-mana.Supermarket bertebaran, jalan-jalan "menyempit" sampai menganggu orang-orang yang mau ke supermarket. diskotik dan restoran bertebaran di mana-mana. "Betapa kayanya negri ini". Namun di sisi lain, waktu saya naik kereta api dari stasiun gubeng ke stasiun pasar senen, nampak di balik gedung-gedung mewah itu rumah-rumah kumuh hampir rubuh. sampah berserakan di kanan-kiri rel. Bau busuk menyengat! Entah-lah...., seperti apa kondisi penduduk yang tinggal di sana...?. Mungkin mereka tidak sedih kalau pulang kampung bisa cerita, "Aku tinggal di belakang hotel bintang lima lho!" Juga, bertapa kayanya negeri ini. kalau kita masuk ke beberapa supermarket, nampak di sana berjajar makanan, minuman, buah-buahan yang cukup menggoda terpajang disana. kita lihat juga banyak cake dan bakery berjajar. Juga kalau kita lihat iklan-iklan di TV, betapa iklan rokok dalam negeriyang sangat memukau, tidak kalah dengan rokok Marlboro-nya AS. Kalau kita lihat sinetron, betapa banyak villa-villa yang cukup mewah yang dimiliki orang negri ini. Namun di sisi lain, ceritanya jadi berbeda. Penjual durian di Parung, Bogor, dan Lampung, tampak tetap hidup "khas petani desa". Petani coklat dan vanili, bahan untuk cake dan bakery, nasibnya tidak pernahberubah. Petani Temanggung sudah beberapa tahun ini rugi terus. Sementara kehidupan perkotaan persis seperti sinetron. Bajaj Bajuri. Indonesia terkenal sebagai negeri yang sangat hebat di dunia. Tekstil yang di pakai para profesor di AS buatan Arcamanik, Bandung. Bola yang di pakai pada Piala Dunia tahun 1998 dan 2002 buatan penduduk PrianganTimur. Orang Indonesia sangat hebat karena merekalah yang mengerjakannya tipa hari, tahap demi tahap, warna demi warna, sampai pernik-pernik kecil. sementara perusahaan Adidas, perusahaan internasional yang katanya terdiri dari tenaga-tenaga ahli itu, kerjanya sepisialis nyetempel dan menguruh hak paten. Namun di sisi lain, apakah pernah dalam benak David Beckham dan Zinedine Zidane daat menendang bola mampir kosa kata "Priangan Timur"? Tampak kok cuma "Adidas" yang terlintas dalam kepala mereka. Kiranya kita terlalu panjang angan-angan kalau sampai mereka ingat Ciamis, Tasikmalaya, Malangbong...., apalagi ingat mang encep dan Abah Ucup yang selalu mentelateni bola-bola itu, yang kehidupannya juga tidak pernah berubah.kita tidak tau diri kalau sampai berharap Bill Gates ingat Archamanik! Apalagi ingat Mas Marmo dan Mas Nardi, dua orang yang bekerja di pabrik tekstil Arcamanik, yang rumah kontraknnya masih di bawah standar Bajuri. sayang Mas Marmo tidak kenal Bill Gates. Andai kenal pemilik microsoft itu, siapa tau ia akan berfikir, "Jas yang ia pakai itu tuh..., jangan-jangan kainnya dulu yang nglipat aku!" ungkapan Jean Charles de Sismondi, kritikus mazhab Adam Smith, nampaknya patut kita renungkan. Ia mempertanyakan: kekayaan milik manusia, atau manusiamilik kekayaan?

oleh:
Mujianto

Selasa, 08 Juli 2008

Menggugat Eksistensi Ideologi Pancasila

Pancasila, yang di cetuskan oleh alm. Soekarno, hingga kini masih diposisikan sebagai sesuatu yang suci bagi para pemimpin bangsa. Pancasila, dengan lima sila yang ada sekarang, dinisbatkan sebagai sumber dari segala sumber hukum, ideologi bangsa, asas tunggal partai politik, hingga falsafah hidup bangsa. Keberadaan Pancasila tak pernah diperdebatkan, dan selalu diletakkan diatas kepala, tanpa ada penggugatan terhadap eksistensinya.
Ironisnya, beberapa orang menjadikan Pancasila lebih suci dari Al Qur’an sebagai sumber hukum dan teks suci. Hal ini tampak pada para Liberalis, yang selalu mengusung ketidak samaan tafsir, dengan metode hermeunetika-nya, tidak pernah sekalipun memberlakukan metode Hermeunetika sebagai penafsir Pancasila, mengkritik dan menghujat pasal-pasal ataupun butir-butirnya, menganggap bahwa Pancasila adalah hal yang tidak perlu diperdebatkan, tetapi mereka dengan leluasa meng-hermeunetika-kan Al Qur’an dan memposisikan Al Qur’an sebagai teks yang harus dikritik dan dibedah dengan cara di konfrontasikan dengan sejarah ataupun kepentingan khalifah yang mengumpulkan tulisan Al Qur’an menjadi satu kitab, yaitu Khalifah Utsman Bin Affan, sebagai pencetus Mushaf Utsmani. Padahal pencetus Pancasila, dalam perjalanannya bukanlah orang yang memiliki gelar Al Amin, ataupun seorang Rasul yang terjamin dari kesalahan. Soekarno adalah seorang manusia biasa dan tidak luput dari kesalahan-kesalahan yang pada akhir pemerintahannya justru memaksanya jatuh dengan tidak hormat.
Pancasila adalah sebuah lima sila yang merupakan hasil olah pikir manusia, dan oleh karenanya pasti memiliki keterbatasan sebagaimana manusia itu sendiri. Pada sejarahnya pula, Pancasila mengalami perubahan yang sangat krusial terhadap sila pertamanya, pada detik-detik Proklamasi Kemerdekaan RI pada tahun 1945. Sebagaimana tertulis dalam sejarah, sila pertama yang disetujui dalam piagam Jakarta adalah berbunyi Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Ini diubah oleh Soekarno menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa, tanpa meminta persetujuan kepada para pendeklarator piagam Jakarta.
Kini, Pancasila sangat identik dengan dua kalimat, yaitu Ideologi Pancasila dan Demokrasi Pancasila. dua kalimat ini menjadi senjata dalam kehidupan berbangsa pemerintah Indonesia, dimana ketika ada segolongan kelompok memperjuangkan tegaknya Syariat Islam, maka akan dicap sebagai pengkhianat Pancasila, tidak mengusung keberagaman Pancasila, dan mengancam integrasi bangsa. Partai partai Islam di parlemen pun latah dengan bentuk ideologi ini, sehingga dengan mudahnya “menjual” akidah mereka dengan menerima Pancasila sebagai asas Partai.
Demokrasi, dimana telah kami tulis di artikel sebelumnya ternyata sangat sarat dengan kebobrokan dan kerusakan. Betapa tidak jelas bentuknya ketika Pancasila yang hanya merupakan 5 norma ini disandingkan menjadi sebuah ideologi bangsa.
Pancasila jelas-jelas tidak memenuhi syarat-syarat mutlak menjadi ideologi. Menurut Syaikh Taqiyuddin An Nabhani, dalam kitabnya Nidhomul Islam, beliau memaparkan syarat sesuatu layak disebut sebagai ideologi. Ideologi, atau Mabda’ adalah pemikiran yang menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan hidup, serta tentang apa yang ada sebelum dan setelah kehidupan, disamping hubungannya dengan sebelum dan sesudah alam kehidupan. Sedangkan peraturan yang lahir dari ini, tidak lain berfungsi untuk memecahkan dan mengatasi berbagai problematika hidup manusia, menjelaskan bagaimana cara pemecahannya, serta memelihara ideologi itu sendiri.
Tiga ideologi yang ada di dunia, yaitu Islam, Kapitalisme, dan Komunisme, berhasil menjawab pertanyaan tersebut.
Pertanyaan untuk Islam, Kapitalisme, Komunisme
1. Darimanakah kehidupan berasal ?

Islam menjawab : Allah
Kapitalisme menjawab : Tuhan
Komunisme menjawab : Materi
2. Untuk apakah kehidupan ini ?

Islam menjawab : Ibadah
Kapitalisme menjawab : Materi
Komunisme menjawab : Materi
3. Kemanakah kita setelah kehidupan berakhir (mati) ?

Islam menjawab : Allah
Kapitalisme menjawab : Tuhan
Komunisme menjawab : Materi

Mari kita lihat, bahwa Pancasila sama sekali tidak mampu menjawab tiga pertanyaan tersebut. Sehingga, karena tidak jelasnya Ideologi Pancasila itu, maka dalam perjalanannya Ideologi Pancasila mengadopsi metode Ideologi lain yang eksis di dunia untuk mengatasi masalah di Indonesia. Di masa orde lama, Pancasila mengadopsi ideologi komunis untuk mengatasi problematika hidup. Di masa orde baru dan orde reformasi (?) Kapitalisme di adopsi sebagai cara untuk mengatasi problematika hidup. Hal itu tentu saja gagal, karena setiap ideologi menuntut ke-kaffah-an (keseluruhan) dalam menerapkan sistemnya. Rusia menjadi besar dengan Uni Sovyet-nya karena menerapkan Komunisme secara kaffah. Dan Amerika berhasil menguasai dunia karena menjadikan Kapitalisme sebagai ideologi yang diembannya secara kaffah pula. Ke-kaffah-an mereka ditunjukkan dengan cara menerapkan politik imperialisme, penjajahan, pendudukan, dan pemaksaan negara lain untuk menjadikan kapitalisme atau komunisme sebagai ideologinya. Mereka konsisten dengan metodenya, sehingga, dengan cara itu, mereka berhasil menjadi penguasa dunia.
Sedangkan ketika kita memaksakan diri untuk menjadikan Pancasila kaffah di Indonesia, maka kita akan kesulitan sendiri, karena Pancasila tidak memiliki metode dalam menerapkannya. Sebagai contoh, ketika kita menyusun politik luar negeri, kita berusaha menciptakan politik luar negeri bebas aktif. Menurut pencetusnya, ini adalah hasil dari ideologi Pancasila. Tetapi ketika kita berhadapan dengan negara lain, kita menerapkan asas manfaat, yaitu apa manfaatnya bagi Indonesia. Padahal asas manfaat adalah milik Kapitalisme, sebagaimana Komunisme memiliki asas Materi dan Islam memiliki asas dakwah. Pancasila, juga tidak memiliki metode bagaimana mengembannya ke seluruh dunia, ataupun mempertahankan eksistensi dirinya sebagai ideologi. Karena sekali lagi, ideologi harus pula memiliki metode mempertahankan eksistensi dirinya.
Namun demikian, adanya jawaban untuk tiga pertanyaan mendasar sebuah ideologi serta metode dalam mempertahankan dan menyebarluaskannya bukan berarti ideologi itu adalah ideologi yang benar, karena sebuah ideologi haruslah pula memiliki landasan berpikir (qaidah fikriyah) yang benar, yaitu kesesuaian ideologi dengan fitrah manusia. Artinya, selain mengakui kemampuan manusia dalam kehidupan, ideologi itu juga harus mengakui kelemahan dan kebutuhan diri manusia akan eksistensi sang Maha Pencipta, sebagai kebutuhan yang sudah built in yaitu gharizah at tadayyun (naluri beragama). Ideologi haruslah mengakui bahwa manusia tidaklah mampu menciptakan aturan bagi dirinya sendiri, dan senantiasa penuh dengan keterbatasan. Apabila hal ini tidak terpenuhi, maka dengan sendirinya ideologi itu bathil.
Hal inilah yang menunjukkan kekalahan ideologi lain dibandingkan dengan ideologi Islam. Islam tidak hanya menjawab berbagai pertanyaan tentang kehidupan dan akhirat, tetapi juga memiliki metode, dan landasan berpikir yang sesuai dengan fitrah manusia sebagai makhluk yang serba terbatas.
Dari sini, bisa kita tarik kesimpulan, bahwa Pancasila, bukanlah sesuatu yang terlalu istimewa ataupun ideologi yang mampu menjadi landasan berpikir manusia. Dan dari sini pula kita dapat memahami mengapa ideologi Islam haruslah menjadi ideologi utama kita dalam mengarungi kehidupan, baik secara pribadi, berkeluarga, bermasyarakat, hingga bernegara.
“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” QS. Ar Rahman (55)

Wallahu a’lam bi asshowab

Irfan S. Roniyadi

Kamis, 26 Juni 2008

DUNIA JUNGKIR BALIK

Masjid-masjid terbuka
tapi tak ada yang disana
Lampu yang terang benderang
bukan lagi jaminan disukai orang

Entah mengapa....
pintu-pintu yang tertutup rapat
Bahkan temaram dan gelap pekat
digemari hingga hingar bingarnya
memekakkan gendang telinga

Dunia...dunia....
Orang berbaju gamis dibilang teroris
Sementara perut sudah penuh terisi
masih saja korupsi
Di kota meminta-minta
di desa kaya raya
Di perempatan polisi-polisi bermunculan
sekedar cari cepek murahan

Lho...., Dunia siapa...?
Dunia dimana agama dijual murah
tentu saja biar suaranya jadi meriah
malam-malam wanita berkeliaran
eh cuma sudi jadi kuda delman

Anak-anak balita cepat dewasa
karena nonton “kubus bernyawa”
Orang tuanya diam pula
lebih suka menyimak berita berbisa


Lalu apa kata dunia...?
Ah, dunia tak tahu apa-apa
Rakyat jelata mengais di bak sampah
sudah kenyang makan sumpah serapah
Diujung sana lewat mobil mewah
menyulap Plaza yang dulunya sawah



Subuh-subuh buruh-buruh penuh jelaga
Halnya Tuan tidur mendengkur
diatas kubur petak yang gembur
Tanah subur tergempur lautan lumpur


Mau jadi apa dunia...?
Mau jadi pintar dan punya gelar
atau bikin gempar jadi preman pasar
Ujung-ujungnya minta harta
atau pergi ke kota biar dapat tahta
meronta-ronta demi wanita

Ah...jungkir baliknya dunia.........!!!!!!!

Irfan S. Roniyadi
dari Reset Minimagz, edisi 04
www.resettingcrazymind.multiply.com
sebuah produk dari UKKI-UMG

Rabu, 04 Juni 2008

POLITIK LUAR NEGERI

POLITIK LUAR NEGERI
KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA


Islam dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu hubungan bangsa dan negara dengan bangsa dan negara lain, memiliki sistem yang sangat kuat, yang –sekali lagi - tidak bisa dilakukan tanpa adanya Khilafah Islamiyah yang berdiri terlebih dahulu.
Islam telah membagi dunia ini menjadi dua, yaitu darul Islam (Daulah Islamiyah) dan darul kufur. Daulah Islamiyah (negara Islam) adalah negara yang satu, yang wajib mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. Pengembanan dakwah Islam adalah asas politik luar negeri bagi Daulah Islamiyah. Inilah yang menjadi landasan dibangunnya hubungan Daulah Islamiyah dengan negara-negara lain.
Titik-tolak Daulah Islamiyah untuk mengemban risalah Islam ke seluruh dunia melalui jihad bermakna bahwa negara menjadikan peperangan (al-harb) sebagai asal dalam (menjalin) hubungannya dengan negara lain. Meskipun demikian, bukan berarti Daulah Islamiyah harus selalu menyulut api peperangan secara terus-menerus dengan seluruh negara yang ada di dunia meskipun negara-negara tersebut memusuhi Islam dan melakukan konspirasi melawannya. Sebab, kadangkala negara Islam tidak memiliki kemampuan untuk berperang karena sebab-sebab tertentu, seperti tidak adanya kondisi yang tepat untuk berperang, atau karena negara sedang memfokuskan peperangan di medan (perang) lain. Bahkan, kadangkala negara terpaksa menghentikan peperangan karena satu keadaan atau beberapa keadaan. Meskipun demikian, aktivitas jihad fi sabilillah yang dilakukan Daulah Islamiyah tetap melalui prosedur syariat, sebagaimana yang dikandung di dalam Hadis Nabi saw. berikut:
Ajaklah mereka ke jalan Islam. Apabila mereka menerima seruanmu itu maka terimalah hal itu dari mereka dan hentikanlah peperangan. Kemudian, ajaklah mereka untuk mengubah negara mereka menjadi Darul Muhajirin. Beritahukan kepada mereka, bahwa jika mereka menerima hal itu maka mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan orang-orang Muhajirin. Jika mereka menolak untuk mengubah negara mereka menjadi Darul Islam maka beritahukan kepada mereka, bahwa kedudukan mereka seperti orang-orang Arab Badwi dari kaum Muslim, yaitu diterapkan hukum Allah atas mereka sebagaimana diterapkan atas kaum Muslim, dan mereka tidak mendapatkan sedikitpun dari fai’ dan ghanîmah, kecuali jika mereka turut berjihad dengan kaum Muslim. Apabila mereka menolaknya maka pungutlah atas mereka jizyah. Jika mereka menerima hal itu maka janganlah engkau memerangi mereka. Namun, apabila mereka menolak maka mohonlah pertolongan kepada Allah dan perangilah mereka. (HR Muslim dan Ahmad, dengan lafal Muslim).
Dengan kata lain, sebelum melakukan perang (jihad fi sabilillah), Daulah Islamiyah terlebih dahulu menawarkan beberapa alternatif: (1) Memeluk Islam; (2) Bergabung dan tunduk terhadap Daulah Islamiyah serta bagi ahl adz-dzimmah diberi kebebasan untuk menganut agamanya masing-masing dengan membayar jizyah; (3) Jika dua pilihan tersebut ditolak, berarti secara syar‘î, Daulah Islamiyah berhak memerangi mereka dengan jihad fi sabilillah.
Itulah yang Rasulullah saw. tunjukkan kepada kita melalui aktivitas beliau dengan mengirimkan belasan utusan kepada para raja maupun kaisar di darul kufur. Isi surat yang disampaikan kepada para raja tersebut menunjukkan ajakan Rasulullah saw. untuk memeluk Islam atau—jika mereka menolak— bersedia tunduk di bawah kekuasaan Islam dengan membayar jizyah (sebagai tanda ketundukan mereka terhadap Daulah Islamiyah). Jika dua pilihan tersebut mereka tolak, Daulah Islamiyah secara syar‘î berhak melakukan futuhat (invansi terbuka) untuk menghancurkan penghalang-penghalang fisik bagi sampainya Islam kepada penduduk darul kufur tersebut. Sejarah menunjukkan kepada kita bahwa futuhat Islam ke negara Persia (wilayah Iran dan Irak), Romawi (wilayah Syam), maupun Mesir didahului oleh ajakan untuk memenuhi dua alternatif tersebut.
Berdasarkan pemaparan tersebut, dalam hubungannya dengan Daulah Islamiyah, kita dapat membagi negara-negara lain menjadi tiga:
(1) Negara-negara muhâribah fi‘lan (secara de facto dalam kondisi perang), seperti Israel. Artinya, perang pada dasarnya sedang berlangsung antara kaum Muslim dengan institusi tersebut.
(2) Negara-negara muhâribah hukman (secara de jure dalam kondisi perang), seperti negara imperialis Inggris atau negara-negara yang sangat berambisi menguasai kita seperti Rusia dan Amerika.
(3) Negara-negara yang terikat dengan kita melalui sejumlah perjanjian dan kesepakatan tertentu.
Perlu diingat bahwa negara apapun dapat berubah statusnya sesuai dengan situasi dan kondisi. Misalnya saja AS. Sebelum melakukan ekspansi terhadap Kuwait dan sebagian wilayah Irak pada Perang Teluk, AS tergolong negara-negara yang muhâribah hukman. Akan tetapi, setelah negara ini memerangi Irak, statusnya berubah menjadi negara muhâribah fi‘lan. Apalagi AS secara biadab melakukan invasi terhadap Afganistan dan membantai ribuan kaum Muslim melalui pemboman yang dahsyat dan membabi buta. Hal ini tergolong perkara yang bisa berubah sesuai dengan perubahan fakta.
Oleh karena itu, kaum Muslim wajib untuk mengubah negeri-negeri mereka dari darul kufur menjadi darul Islam dengan cara melanjutkan kembali kehidupan Islam melalui pendirian Daulah Islamiyah atau mengembalikan lagi Khilafah Islamiyah setelah diruntuhkan pada tahun 1924 M. Kekhilafahan inilah yang akan menyatukan negeri-negeri Islam dan berusaha untuk menyebarluaskan Islam ke seluruh penjuru dunia dan mengembannya dengan tharîqah (metode) yang dikehendaki oleh Islam.
Sesungguhnya hal ini merupakan perkara utama yang dihadapi kaum Muslim, yang karenanya tidak boleh diremehkan. Mengecilkan perkara ini akan mengakibatkan kehinaan di dunia serta kesengsaraan dan azab yang amat pedih di akhirat.

Irfan S. Roniyadi

Sabtu, 24 Mei 2008

Politik Hukum Islam

Islam dan politik, dewasa ini merupakan suatu hal yang – dianggap – bertolak belakang. Islam adalah agama yang mengajarkan akhlak mulia sedangkan politik adalah cara manusia untuk memperjuangkan kepentingan yang identik dengan kekotoran perbuatan, tipu muslihat, dan menghalalkan segala cara.
Hingga akhirnya muncul suatu statement, bahwa politik adalah sesuatu yang “haram” dilakukan oleh para ulama ataupun pendakwah Islam yang ingin namanya bersih di mata masyarakat. Masyarakat pun akan sangat kecewa apabila ulama mereka memutuskan untuk berpolitik, karena politik akan membuat seseorang masuk ke lingkaran “setan” yang hanya akan mementingkan kepentingan pribadi dan golongan.
Ketakutan politisasi agama merupakan salah satu dasar bagi hukum sekulerisme. Istilah "politisasi agama" (tasyîs ad-dîn) sebenarnya bukanlah istilah netral, melainkan istilah yang terkait dengan suatu pandangan hidup (worldview, weltanschauung) tertentu, yaitu sekularisme. Dalam masyarakat sekular Barat, pemisahan agama dari gereja (agama) adalah suatu keniscayaan. Karena itu, politisasi agama dipandang ilegal.
Robert Audi (2002) menjelaskan bahwa dari sekularisme diturunkan tiga prinsip dalam kehidupan bernegara, yaitu prinsip kebebasan (libertarian), prinsip kesetaraan (equality), dan prinsip netralitas (neutrality). Berdasarkan prinsip terakhir, suatu negara haruslah mengambil sikap netral di antara agama-agama. Implikasinya, jika negara mengutamakan atau mengadopsi suatu agama tertentu (di antara beragam agama) untuk mengatur kehidupan bernegara, berarti negara itu telah melanggar satu prinsip dasar sekularisme. Inilah "politisasi agama" yang dianggap penyimpangan (corruption) dalam logika sekular, karena agama memang harus dipisahkan dari urusan politik. Wajar jika kaum sekular akan menolak jika agama dibawa-bawa dalam berpolitik atau orang berpolitik atas nama agama.
Mengapa logika sekular menolak campur tangan agama dalam kehidupan politik? Hal ini tidak terlepas dari trauma masyarakat Barat pada Abad Pertengahan (abad ke-5 s.d. ke-15 M) ketika gereja dan negara berkolaborasi mendominasi segala aspek kehidupan masyarakat; mulai dari urusan keluarga, ekonomi, politik, sosial, seni, hingga teologi dan ilmu pengetahuan, semuanya harus tunduk pada ketentuan gereja. Struktur masyarakat yang seperti ini ternyata telah menimbulkan kerugian yang luar biasa atas kemanusiaan di segala bidang sehingga abad-abad itu dikenal dengan "Masa Kegelapan" (The Dark Ages).
Walhasil, paham sekularisme yang menafikan agama dalam kehidupan inilah yang mendasari penolakan politisasi agama. Karena itu, jika ada partai politik atau kelompok dakwah yang mengusung misi politik bernuansa agama, misalnya penegakan syariat Islam dalam kehidupan bernegara, atau misi mendirikan negara Khilafah, maka ini akan mudah dicap sebagai telah melakukan "politisasi agama". Tentu stigma yang demikian bukanlah berdasarkan perspektif Islam, melainkan berdasarkan perspektif asing, yaitu paham sekularisme yang tumbuh dalam masyarakat Barat yang Kristen
Lalu bagaimana seharusnya kita menyikapi politik bagi umat ?. karena, mengutip ucapan Aa Gymnastiar, ketika beliau memperoleh nasihat dari para santrinya untuk tidak terjun ke dunia politik, apabila politik hanya dihuni oleh orang-orang yang tidak tahu agama (Islam) maka apa jadinya sebuah negara itu ?.
Politik dan Islam – sebenarnya - merupakan suatu yang sangat berkaitan, karena Islam bukan hanya mengajarkan ritualitas dan akidah tetapi juga mengatur bagaimana manusia dalam mengelola kehidupan di dunia termasuk bagaimana manusia mengatur negara dan berpolitik.
Adakah Islam mampu untuk menjadi agama, politik dan spiritual ? Bukti bukti secara normatif, historis dan empiris telah mengantar kita pada keberhasilan Islam pada masa- masa dimana Islam adalah sebuah ideologi negara, syariat merupakan hukumnya dan khalifah kepala negaranya. Islam menjadi rahmatan lil alamin justru ketika Islam adalah ideologi dan bukan hanya menjadi agama ritualitas.

Secara normatif, kemampuan Islam sebagai ajaran politik dan spiritual terlihat dalam dua elemen pemikiran (thought) dan metode (method). Elemen thought meliputi,
1. Akidah Islam, yaitu keimanan kepada Allah, Malaikat, Rasul, Kitab, hari kiamat, serta Qadha’ dan Qadar.
2. pemecahan masalah kehidupan manusia, yang meliputi hukum syara’ yang berkaitan dengan seluruh masalah kehidupan manusia, baik dengan Tuhannya, seperti ibadah, ataupun masalah manusia dengan sesamanya seperti ekonomi, sosial, politik, pendidikan, sanksi hukum dan sebagainya, maupun masalah manusia dengan dirinya sendiri seperti masalah makanan, pakaian, dan akhlak.
Sementara elemen method meliputi bagaimana konsep tersebut diterapkan, dipertahankan dan dikembangkan, yaitu :
1. Metode menerapkan akidah dan hukum syara’ yaitu melalui negara Khilafah Islam dan partai politik Islam yang menegakkan Islam.
2. Metode mempertahankan akidah dan hukum syara’ melalui institusi pengadilan (al qadha’), dan penerapan sanksi hukum (uqubat) kepada para pelaku pelanggaran akidah dan hukum syara’, yang dijalankan oleh khilafah Islam.
3. Metode mengemban akidah dan hukum syara’ yang dilakukan melalui dakwah serta Jihad fi sabilillah baik defensif maupun ofensif, yang hanya bisa dijalankan apabila ada Khilafah Islam.
Politik adalah bagian integral dari keseluruhan norma Islam. Dikatakanlah, "Al-Islâm dîn wa minhu ad-dawlah." (Islam adalah agama dan politik adalah bagian darinya). Definisi politik (as-siyâsah) dalam perspektif Islam adalah pengaturan urusan-urusan masyarakat—dalam dan luar negeri—berdasarkan hukum-hukum syariah Islam. Politik ini dilaksanakan secara langsung oleh negara Islam (Khilafah) serta diawasi oleh individu dan kelompok rakyat. Itulah makna politik yang digali dari berbagai dalil, di antaranya dari Hadis Nabi saw. berikut: Bani Israil senantiasa diatur urusannya oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, ia digantikan oleh nabi yang lain. Akan tetapi, tidak ada nabi sesudahku, yang akan ada adalah para khalifah yang akan banyak sekali jumlahnya). (HR Muslim).
Di dalam hadis ini ada isyarat bahwa, tidak boleh tidak, rakyat harus mempunyai seseorang yang mengurus berbagai urusan mereka; membawa mereka ke jalan yang baik, dan menolong orang yang dizalimi dari orang yang berbuat zhalim.
Karena itu, tidak heran jika Imam al-Ghazali, menekankan, bahwa politik dan agama adalah ibarat dua saudara. Dikatakan pula, "Jika kekuasaan (as-sulthan) terpisah dari agama atau jika agama terpisah dari kekuasaan, niscaya keadaan manusia akan rusak.
Dalam terminologi Islam, sistem politik Islam dinamakan Khilafah atau Imamah. Kewajibannya secara normatif dalam Islam adalah sesuatu yang tidak dapat diragukan lagi. Seluruh imam madzhab dan para mujtahid besar tanpa kecuali telah bersepakat bulat akan wajibnya Khilafah atau Imamah ini.
Walhasil, di tengah dominasi paham sekularisme dewasa ini, penolakan terhadap politik Islam jelas bukan merujuk pada norma dan pengalaman sejarah Islam, melainkan merujuk pada norma dan sejarah masyarakat Eropa yang Kristen. Jelas ini adalah bentuk taklid buta yang sangat menyesatkan kaum Muslim.

Kamis, 22 Mei 2008

Cara kasih komentar

Kemarin ada yang sms bernada protes ke redaksi, bertanya bagaimana cara kasih komentar. caranya berikut ini :
1. klik komentar / posting komentar. setelah itu akan muncul jendela baru yang harus diisi.
2. masukkan / ketik komentar antum di kotak sebelah kanan yang telah disediakan, jangan lupa, berikan nama dan e-mail dan asal antum, agar kami bisa mengetahui keberadaan antum.
3. pilih salah satu opsi pemberian identitas yang ditandai dengan lingkaran kecil yang bisa diklik / diberi titik. dimana ada pilihan Google blogger, Open ID, Nama URL dan Anonim. bila antum tidak memiliki ketiga opsi pertama, maka klik anonim.
4. terakhir, klik publikasikan untuk kembali ke jendela awal.

Jazzakumullah, semoga bermanfaat
Redaksi

Senin, 05 Mei 2008

demokrasi jilid 2

Wajah Demokrasi Yang Bopeng Sebelah


Merasa familiar dengan judul diatas ? Penulis memang sengaja menyitirnya dari tulisan yang dibuat Soe Hok Gie (lebih dikenal dengan sebutan Gie) sesaat setelah gerakan mahasiswa tahun 66 berhasil merobohkan Orde lama dan menandai berdirinya Orde baru. Artikel yang aslinya berjudul “wajah fakultas sastra yang bopeng sebelah” ini memang tidak membicarakan demokrasi, tetapi sosok Gie kita kenang sebagai pejuang demokrasi yang akhirnya kecewa dengan hasil perjuangannya sendiri, karena demokrasi wajah baru (baca: orde baru) tidak memberikan perbedaan yang signifikan kepada Indonesia. Hingga di akhir hayatnya, Gie tetaplah seorang kritikus pedas terhadap pengemban demokrasi (baca: pemerintah) Indonesia.
Siapapun dia, tidak bisa memungkiri, bahwa gerakan mahasiswa memiliki peranan yang cukup berarti dalam perjalanan bangsa ini. Berbagai macam momen dan peristiwa yang terjadi senantiasa menghadirkan sosok mahasiswa sebagai bagian dari unsur terpenting. Setumpuk predikat filosofis pun dikalungkan untuk mahasiswa; mahasiswa sebagai agen perubahan (agent of change), kontrol sosial (social control), kekuatan moral (moral force), cadangan potensial (iron stock), dan sebagainya walaupun akhirnya seiring dengan semakin terkikisnya vitalitas mahasiswa, akhirnya predikat itu menjadi ungkapan romantisme belaka.
Pemikiran yang muncul di tubuh gerakan mahasiswa dewasa ini, tidak (atau sedikit) ada yang menyinggung masalah yang sebenarnya. Akar-akar masalah yang muncul dari demokrasi dibicarakan dengan gegap gempita, seperti kemiskinan, pengangguran, pendidikan mahal dan korupsi, tetapi Demokrasi sendiri dipandang sebagai sesuatu yang suci, yang tidak perlu diperdebatkan. Slogan-slogan demokrasi digunakan sebagai dasar berbagai kegiatan mahasiswa, tanpa melalui kajian yang mendalam terhadap demokrasi.
Pengadopsian sebuah ide atau pemikiran gerakan menjadi unsur yang penting bagi gerakan mahasiswa sebagai nilai perjuangan nantinya. Ide atau pemikiran itu haruslah ide dan pemikiran yang benar dan jelas. Dalam artian telah melalui proses studi kelayakan dan disimpulkan apakah baik untuk diadopsi. Ternyata prinsip ini dilupakan oleh gerakan mahasiswa selama ini. Mahasiswa tidak mampu menampilkan diri sebagai insan yang cerdas, lebih bersifat emosional tapi non konseptual. Banyak bermain pada wilayah kritik, auto kritik tapi kering akan solusi. Ketika Barat menyerukan demokratisasi, mahasiswa pun menyerukan hal yang sama. Ketika Barat menyerukan pluralisme, mahasiswa pun latah dengan apa yang dikatakan pihak Barat. Yang lebih disayangkan ketika gerakan mahasiswa justru menjadi pelanggeng sistem status quo yang jelas–jelas telah busuk dan tidak layak dipelihara. Lagi–lagi karena mahasiswa tidak memiliki pemikiran dan konsep yang jelas.
Mahasiswa akan berkilah jika diperhadapkan dengan keburukan dan kegagalan demokrasi, bahwa bangsa Indonesia memang masih pada tahap belajar berdemokrasi atau transisi demokrasi. Padahal negara demokrasi sendiri hanya ada dalam komik-komik yang dikarang oleh tokoh-tokoh Barat dan para Islamofhobia. Kemudian mahasiswa (termasuk mahasiswa muslim) ikut-ikutan latah seperti apa yang dikatakan mereka. Akibatnya gerakan mahasiswa tidak lagi memiliki orientasi yang sejalan dengan ide-ide Islam sebagai ide terbaik yang seharusnya menjadi Value of objektif bagi pergerakan mereka.
Ide Islam (syariat Islam) ditakuti, seolah ide ini akan membuat mereka mundur dari peradaban. Mereka mengidentikkan syariat Islam sebagai ide yang tidak sesuai dengan pluralisme, dan tidak mengusung keberagaman. Hal ini hingga sekarang masih terjadi, meski kita semua tahu sendiri bahwa kebobrokan kehidupan saat ini karena tidak diterapkannya system Islam secara Kaffah. Malah kita terjebak dalam roda pergerakan system Kapitalis saat ini, yang tidak akan pernah rela menjadikan rakyatnya hidup makmur karena kemiskinan adalah salah satu alat dari kapitalisme untuk tetap bercokol di sebuah negara.
Syariat Islam sempurna karena dia datang dari pencipta manusia, dan hanya Allah yang mampu membuat aturan yang paling cocok untuk manusia, karena pencipta adalah sosok yang paling mengenal ciptaannya. Ketika manusia mengagungkan aturan-aturan yang dia buat sendiri, maka aturan itu tak ubahnya istana kardus yang meski indah tapi mudah hancur dan terbakar. Tak berlebihan bila penulis memberikan statement bahwa demokrasi dan seluruh keturunannya adalah sebuah wajah yang bopeng sebelah, yang tampak seakan-akan manis, tetapi buruk rupa. Ingatlah bahwa Allah telah berfirman dalam Al Qur’an, "Siapa saja yang berpaling dari dzikri (kitab-Ku), maka baginya kehidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya di pada hari Kiamat dalam keadaan buta." (QS. Thaha [20]:124).
Ketahuilah kawan-kawan mahasiswa, kita semua akan menjadi saksi kehancuran dari negeri ini bila kita biarkan sistem yang bobrok ini terus menerus menggerogoti setiap kekayaan dan darah rakyat kita. Tidak cukup kita hanya menyerukan isu-isu yang parsial, melainkan harus menyentuh akar permasalahannya yaitu ganti sistem ini dengan sistem yang baru yakni Islam. Sesungguhnya menjadikan demokrasi sebagai cita – cita dan standar perjuangan adalah kekeliruan besar mahasiswa / lembaga/ gerakan mahasiswa dan akan selamanya menjadi faktor kegagalan demi kegagalan yang kita dapatkan. Wahai mahasiswa muslim, Islam tidak bisa dikompromikan dengan ide-ide yang jelas-jelas bertentangan dengan Islam (baca : Demokrasi). Islam adalah ideologi kita yang mampu memberikan solusi pada semua permasalahan umat manusia. Ke depan, gelombang perubahan dan benturan ideologi akan semakin terasa, Islam akan menantang dan meruntuhkan Kapitalisme- Sekuler dan Sosialisme-Komunis. Tinggal kita serukan kepada kawan-kawan mahasiswa, apakah anda akan berada dibalik perjuangan kapitalis dan sosialis atau dibalik perjuangan Islam? Sangat disayangkan jika ada yang salah pilih tapi lebih disayangkan lagi jika ada yang tidak memilih apa–apa selain hanya diam dan bungkam. Wallahu A'lam Bishowab
Irfan S Roniyadi and Ulul Azmi Rizal.

Korupsi

Korupsi dan Mahasiswa

Kita rata-rata telah mengaku kita kaum mahasiswa adalah kaum yang bersih dari korupsi, kaum yang dengan percaya diri mengatakan bahwa kita adalah agent of change. Kaum yang selalu berjanji untuk berjuang di garis depan sebagai pengawas kebijakan pemerintah.
mahasiswa adalah gudangnya idealisme, sejak jaman soe hok gie hingga sekarang.sejarahpun telah mencatat tumbangnya rezim di indonesia adalah peran besar mahasiswa. Kini pertanyaan besarnya adalah: benarkah kita sebersih yang kita kira ?
Korupsi telah membudaya, kalimat ini pertama kali muncul dari proklamator RI bung hatta. Artinya sejak orde lama hingga orde reformasi(?) masalah korupsi adalah masalah klasik dan tak kunjung berakhir di indonesia, bahkan cenderung menunjukkan fenomena gunung es. Sudah berapa kali pemerintahan diganti orang baru, yang sudah tentu pernah mengenyam bangku kuliah, dan tentunya pernah pula memiliki idealisme seperti kita, toh korupsi masih ada. Angkatan 66 ternyata sama saja ketika duduk di pemerintahan. Angkatan 98 yang duduk di pemerintahan sekarangpun terindikasikan sami mawon. Jadi jelas ada yang salah dengan idealisme mahasiswa. Jadi ada apa dengan idealisme mahasiswa ?.
coba kita explore dulu kata budaya, yang menunjukkan bahwa semua lapisan masyarakat ikut memiliki. Jadi budaya adalah suatu kebiasaan yang terjadi di dalam masyarakat secara luas, tidak melulu dimiliki satu golongan tertentu, karena kalau begitu belum bisa disebut budaya. Ironis memang karena budaya selama ini identik dengan keindahan.
Jadi kita, mahasiswa yang di kampus mengagungkan idealisme, sudah pasti ikut serta memupuk budaya ini. Gak percaya?
Sudah pernah ngurus SIM,KTP, atau justru hal-hal yang lebih berat seperti surat kelakuan baik? Berapa uang yang kita bayarkan? Sudahkah sesuai dengan tarif yang seharusnya dibayar? Berapa lagi yang kita bayar ke polantas saat kita melanggar lalu lintas hanya karena kita malas untuk ikut sidang? Kalau bukan anda, mungkin teman kita di lain tempat yang juga mengaku sebagai mahasiswa yang beridealisme. Kemana larinya idealisme kita? masihkah kita yakin kita mampu sebagai agent of change?
Korupsi adalah borok masyarakat kita, dan kita sudah sering menganggapnya wajar, sehingga kita melakukannya tanpa ada rasa risih ataupun aneh.
pertanyaan yang kedua adalah apa yang salah dengan indonesia ?.
Indonesia adalah negeri yang kaya raya akan hasil buminya, penuh dengan minyak, gas dan komoditi komoditi yang sangat beragam dan menguntungkan bila dikelola dengan benar.tapi yang terjadi adalah sebaliknya, kita kaya akan hasil utang alias bunga yang mencekik leher.
Korupsi sudah begitu luasnya merusak indonesia sampai kita seringkali merasa lelah untuk terus menerus melawan.
Dari dua pertanyaan pelik diatas, jawabannya cukup satu. Sistem!
sistem kafir sekular yang diadopsi oleh indonesia ini menciptakan lingkaran setan yang terus menerus menciptakan penjahat penjahat baru yang meski dibasmi akan tetap ada, karena tidak adanya sistem yang mampu mempersempit ruang gerak para koruptor.
Sistem demokrasi sekular yang seolah olah kuat ini ternyata laksana istana kardus yang setiap saat mudah roboh dan terbakar. hukum hukum yang diciptakan manusia sendiri ternyata tidak mampu memberikan unsur jera meski terlihat pelik dan kompleks.
Kita para mahasiswa, harus sadar sejak sekarang, bahwa tekad dan kemauan saja tidak akan cukup mampu merubah wajah negara ini bila sistem yang ada masih sekuler seperti sekarang. Sistem adalah sebuah perputaran lingkaran, tanpa perubahan arah putaran, tidak akan mampu seseorang ataupun kelompok merubah ritme dari isi lingkaran.
Wahai kawan, bila agent of change adalah kita, maka seharusnya agenda pertama untuk perubahan adalah sistem dari negara ini. Hal ini yang harus kita perjuangkan, bukan dengan teriakan lantang yang hanya menyentuh tepi dari kesalahan mendasar negeri ini.
Sistem yang seperti apa? Tentu tidak banyak jawabannya, karena dunia hanya mengenal tiga sistem negara, sekularisme, komunisme dan Islam, mana yang terbaik menurut kita para mahasiswa muslim? Kita sudah pasti tahu jawabannya. Tertarik?


Irfan S. Roniyadi/Psikologi
Komentar dan saran: anakin_jundi@yahoo.com

Demokrasi = Demon Crazy ?

Demokrasi : Pengingkaran Fitrah Manusia

Gerakan mahasiswa dewasa ini secara struktural teracuni oleh demokrasi. Demokrasi dipandang sebagai suatu tujuan pergerakan, bahkan mahasiswa rela berjuang hidup dan mati demi tegaknya suatu sistem yang sama sekali tidak sesuai dengan fitrah mereka. Demokrasi, apalagi yang mampu kita gali ?
Segi historis dari demokrasi diawali dengan munculnya gerakan Reinassance pada abad pertengahan di Eropa yang menuntut pemisahan dominasi gereja terhadap kehidupan manusia, dimana pada saat itu, Gereja digunakan para penguasa untuk melegitimasi segala keputusan yang dibuat dan menyingkirkan lawan-lawan politik. Perkembangan ilmu pengetahuan terhambat, karena Gereja memberangus ilmu-ilmu yang tidak sesuai dengan doktrin gereja saat itu.
Dari sinilah, muncul sekulerisme, dimana agama diletakkan di tempat ibadah saja, dan tidak lagi berhak mengatur kehidupan manusia. Sekularisme merupakan akidah "jalan tengah" yang lahir sebagai bentuk kompromi para pemuka agama yang menghendaki kehidupan manusia harus tunduk pada otoritas mereka (dengan mengatasnamakan agama), dengan para filosof dan cendekiawan yang menolak otoritas agama dan dominasi para pemuka agama dalam kehidupan. Dengan demikian, para penganut sekularisme sebetulnya tidak mengingkari Tuhan (agama) secara mutlak; mereka hanya menginginkan agar Tuhan (agama) tidak mengatur kehidupan mereka.
Segala peraturan dibuat oleh manusia sendiri, dan dilaksanakan sesuai dengan keinginan manusia. Kedaulatan ada di tangan manusia (rakyat), hukum dibuat dari pemikiran manusia, dilaksanakan oleh manusia, dan digunakan untuk manusia. Tercetuslah demokrasi.
Demokrasi sarat dengan ide-ide yang mengatas namakan kebebasan. Rakyat bebas beragama, bebas berpendapat, bebas berprilaku, termasuk bebas dalam berekspresi, mempertontonkan aurat, berzina, dan melakukan kemaksiatan yang lain. Didalam demokrasi juga diberikan kebebasan terhadap kepemilikan, dimana seseorang berhak untuk memiliki harta, sekaligus mengembangkannya dengan sarana dan cara apapun. Maka jelaslah, bahwa Kapitalisme akan selalu mengikuti penerapan Demokrasi dan pemberlakuan Sekulerisme.
Manusia telah dihakikatkan menjadi makhluk yang lemah. Secara fisik saja, kita bukanlah yang terhebat di alam semesta. Manusia masih kalah kuat dengan beruang, kalah cepat berlari dengan cheetah, manusia tidak sebesar paus biru, ataupun bisa terbang seperti burung.
Manusia dimuliakan dengan akal, tetapi, akal tetap penuh dengan keterbatasan.
Secara fitrah, manusia adalah makhluk yang serba terbatas (relativismus uber alles). Keserbaterbatasan manusia ini telah cukup mengantarkan manusia pada situasi dimana ia senantiasa membutuhkan -dan bergantung pada- Zat Yang Tak Terbatas alias Yang Mahamutlak (Absolutismus uber alles); Dialah Allah sebagai The Ultimate Reality (Realitas Tertinggi, Wâjib al-Wujûd).
Secara fitrah pula, manusia dianugerahi oleh Allah Swt. naluri untuk beragama atau religiusitas (gharîzah at-tadayyun), yang merupakan sesuatu yang sudah built-in dalam dirinya, bahkan sejak sebelum kelahirannya ke alam dunia. Naluri ini telah cukup mendorong manusia untuk melakukan pemujaan terhadap apa yang dianggapnya sebagai The Ultimate Reality (Realitas Tertinggi) itu.
Sayang, dua kenyataan primordial (fitri) ini tidak serta-merta menjadikan manusia "tahu diri"; entah karena mereka tidak berpikir rasional (tidak menggunakan akal) atau karena mereka terlalu percaya diri akibat hegemoni hawa nafsu yang ada dalam dirinya. Hawa nafsu pula yang mempengaruhi manusia dalam membuat hukum, dimana hukum hanyalah sebuah alat untuk mencapai tujuan dan kepentingan dari pembuat hukum (baca: manusia). Hukum dibuat dengan menggunakan asas manfaat. Jadi apabila suatu prilaku itu menghasilkan keuntungan, maka akan di legitimasi, dan bila merugi maka akan diabaikan.
Inilah yang akhirnya menciptakan kebobrokan moral , karena manusia pada dasarnya tidak mampu mengenali dirinya sendiri. Manusia ternyata tidak mampu membuat hukum untuk dirinya sendiri, dan tidak mampu menghukum dirinya sendiri bila melanggar aturan. Terbukti, penjara tidak mampu membuat orang menjadi jera melakukan kejahatan.
Manusia bukan hanya seonggok tubuh dengan mekanisme kerja organ hidup, tetapi juga merupakan sekumpulan pribadi yang kompleks dan Gestalt (keseluruhan). Manusia akan selalu dihinggapi kepentingan, keinginan, keserakahan, keegoismean, kehedonismean, dalam membuat aturan untuk dirinya. Maka sudah selayaknya kita mengatakan bahwa manusia tidak berhak membuat aturan untuk dirinya, karena manusia tidak mengenal dan tidak mampu mengakomodasi segala kekurangan dirinya.
Lalu siapa yang paling mengenal manusia, kalau bukan pencipta manusia ? sebagaimana kitalah yang paling mengenal komputer karena kitalah penciptanya.
Oleh karena itu, cukuplah Allah saja yang memegang kedaulatan, dan cukuplah Allah saja yang membuat hukum. Karena kita, telah difitrahkan untuk menjadi makhluk yang lemah, dan senantiasa membutuhkan Dzat yang Maha Kuasa, yaitu Allah SWT.
Jika kita tetap bertahan untuk berkubang dalam aturan-aturan buatan manusia dan tetap enggan diatur dengan aturan-aturan Allah, layaklah kita merenungkan kembali firman Allah Swt. berikut:

]أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ[
Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki. Siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin?! (QS al-Maidah [5]: 50).
Wallahu a’lam Bisshawab....
Irfan S. Roniyadi

AIDS

Aku Ingin Dekat denganmu ,Sayang!

Kalimat inilah yang biasa kita dengar di Sinetron ketika ada buaya darat(laki-laki playboy)merayu seorang dara.Namun disini kita tidak akan bahas romantisme ala sinetron Indonesia,namun romantisme yang diumbar oleh AIDS. Sosok dengan nama lengkap Aquired Imune Deficiency Syndrom ini telah terkenal di seluruh dunia karena sepak terjangnya yang telah terbukti ampuh untuk melenyapkan(baca:membunuh) ratusan orang tiap menitnya.Sosok ini pertama kali ditemukan pada tanggal 5 Juni 1981 ketika Center for Diseas Control Prevention di Amerika Serikat mencatat adanya Pneumonia pneumosistis pada 5 laki-laki homoseksual di Los Angels.Ada dua tipe virus penyebab AIDS yang sudah ditemukan ,yaitu HIV-1 yang diduga berasal dari simpanse dan HIV-2 yang diduga berasal dari monyet Sooty Mangabey.Nah loh,kenapa sosok selebritis kita yang satu ini malah berasal dari hewan primata(yang oleh Charles Darwin disebut sebagai nenek moyang kita).Hebat juga orang yang sudah berkenalan dan mulai bermesraan dengan AIDS ini ,karena ternyata mendapat oleh-oleh dari nenek moyang kita(Monyet).
Dari hutan belantara hingga kota metropolis raksasa telah dijadikan lahan empuk berkembangnya AIDS ini.Dari penjahit hingga penjahat sudah sangat akrab dengan sosok selebritis kita ini.Kita sebagai remaja dan generasi penerus bangsapun tak luput dari rayuan mautnya.Kehidupan malam diskotik,pergantian jarum suntik,dan perilaku seksual yang tidak sehat(sehat=sah dalam hukum islam) menjadi jurus maut masuknya AIDS dalam kehidupan kita.Jika kita mengaku sebagai Agen of change(Mahasiswa) yang dinamis dan modern , maka tidak akan ada dalam kamus keseharian kita untuk melakukan hal-hal yang akan membuat kita berkenalan dengan AIDS ini.Karena sekali saja kita berkenalan dengannya maka sangat sulit untuk melepaskan diri darinya.
Afrika adalah daerah yang paling terpengaruh dari penyebaran virus HIV ini. Benua Afrika didiami oleh 10% dari jumlah populasi dunia namun disaat yang sama 60% dari jumlah populasinya mengidap AIDS.Sedangkan di Indonesia hingga bulan Mei 2007 jumlah penderita mencapai 1062,dan 313 diantaranya meninggal.Jawa timur sendiri menempati urutan ke-3 dengan penderita AIDS setelah Papua dan Jakarta.
Allah sendiri sebenarnya telah memperingatkan kita untuk menjauhi hal-hal yang dapat membuat kita bersentuhan dengan si”AIDS” ini.Allah berfirman ,”...sesungguhnya (zina)itu adalh suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.”(QS.Al-Isra’:32).
Mengacu pada ayat tersebut,orang yang melakukan zina telah melakukan perbuatan yang keji pada dirinya sendiri,Karena memang dengan berzina kita akan mudah berkenalan dengan AIDS ini yang dapat menjadikan hidup kita sengsara.Selain itu dengan menggunakan narkoba dan pola hidup ala vampire(keluar dan berjoget di malam hari,red) kita akan menjadi manusia yang jauh dari kebahagiaan(idealnya malam hari untuk tidur kan??).Padahal Allah telah menganugerahkan akal untuk kita berpikir mana yang baik dan mana yang buruk untuk kehidupan kita.Berpikir untuk mencari kebahagiaan hakiki di dunia dan akherat.Kelak kita akan mendapatkan balasan yang setimpal dengan apa yang telah kita perbuat didunia ini.Sebagaimana firman Allah:”Mereka itulah penghuni jannah.Mereka kekal di dalamnya sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan”.(QS Al Ahqaf:14).Marilah kita segera jemput kebahagiaan itu dengan menjauhi AIDS dkk,dan kembali pada hukum Allah secara menyeluruh.

Putri Gita Wijaya