Rabu, 25 Februari 2009

Dibalik Isu Kemajemukan Agama Di Indonesia

Rabu, 25 Februari 2009 | 09:38 WIB
Oleh: Fuad Amsyari

Kenyataan yang berkembang saat ini, semakin marak isu pluralitas agama. Padahal di negeri ini sejak masa penjajahan Belanda yang Protestan dan diteruskan oleh penjajahan Jepang yang Budha dan Kong Hu Cu sudah ada kemajemukan agama.

Sejak dulu—bukan hanya di era reformasi— telah berkembang pluralitas agama. Bahkan tidak ada satupun negara di dunia yang warga negaranya hanya memeluk satu agama, tidak pula di negara Madinah pada masa Rasulullah —di sana juga ada Yahudi dan Nasrani.

Tapi di Indonesia, khususnya mulai masa Orde Baru dan berlanjut di era reformasi, seperti terjadi histeria bahwa di negeri ini ada pluralitas agama (baca: tidak hanya orang Islam saja). Sepertinya Islam sebagai agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk tidak menjadi isu sosial politik, bahkan tampak ingin ditenggelamkan.

Ada upaya yang dilakukan secara sistematis untuk tidak menonjolkan strukrur sosial bangsa ini yang didominasi oleh muslim (sekitar 90%), sedang pemeluk agama lain, seperti Katholik, Protestan, Budha, Hindu, Kong Hu Cu membagi sekitar 10% sisanya.

Ada upaya sistematis untuk meyakinkan semua orang (baca: umat Islam) bahwa faktor mayoritas agama itu tidak penting untuk diperhitungkan dalam proses pengelolaan bangsa dan negara.

Padahal proporsi agama itu lebih layak diungkapkan, dikemukakan, dan ditonjolkan sewaktu bangsa ini sedang berupaya mencari strategi pembangunan yang efektif bisa menghantar bangsa menjadi bangsa yang besar.

Sebetulnya teramat mudah untuk dipahami bahwa maraknya isu pluralitas agama dan penenggelaman fakta muslim sebagai penduduk mayoritas memiliki tujuan politik dan rekayasa sosial terselubung. Jelas bisikan sosio-kultural pluralitas agama seperti itu mempunyai agenda politik, yakni ‘mendiskriditkan’ eksistensi orang Islam.

Umat Islam di Indonesia terlalu lengah untuk tidak mengerti bahwa tiupan seruling pluralitas agama bermaksud ‘memerintahkan’ kaum muslimin Indonesia agar mau menerima bila kebijakan sosial-politik yang diberlakukan atas mereka tidak bersumber dari ajaran Islam.

Hembusan itu juga merayu (atau ‘memaksa’) agar orang Islam tidak protes bila kepada mereka diberlakukan kebijakan nasional yang berbeda bahkan bertentangan dengan ajaran agama Islam, seperti diterapkannya kebijakan nasional yang mendukung atau membiarkan maraknya lokalisasi pelacuran, kesetaraan gender yang bias, kebebasan ganti-ganti agama ala HAM Barat, legalisasi klab malam dan dugem, promosi seks bebas, gay, dan buka aurat, budaya mabuk karena peredaran miras, hidup glamor penuh pemborosan di tengah kemiskinan rakyat.

Bahkan misi politik hembusan adanya pluralitas agama itu bisa menjurus yang lebih menyakitkan lagi. Orang Islam di Indonesia diharapkan mau menerima bila dipimpin oleh orang yang beragama lain dalam proses kehidupan sosial-politik, seperti layaknya zaman penjajahan di mana orang Islam diperintah oleh penguasa Belanda yang Protestan-Katholik atau penguasa Jepang yang Budha-Kong Hu Cu.

Isu pluralitas agama di Indonesia amat jelas arah sasarannya, dan sudah banyak memakan korban, termasuk di kalangan ulama, santri, kyai, bahkan di kelompok sarjana atau cendekiawan Muslim sekalipun.

Propaganda pluralitas agama ini memang efektif mengubah pola pikir dan aqidah umat, khususnya pada masa orde baru, di mana umat Islam dipojokkan oleh isu mau mendirikan negara Islam, mau menghidupkan piagam Jakarta. Pada saat bersamaan ‘musuh’ Islam rajin menyusun kebijakan yang bertentangan dengan ajaran Islam dan pelan-pelan menguasai posisi strategis dalam pemerintahan di negeri ini.

Umat Islam pada awal orde baru tampak begitu tidak berdaya terhadap rekayasa sosial-politik. Apalagi pada saat itu mereka ditekan secara fisik-militer untuk tidak protes dengan alasan demi menjaga stabilitas negara, kebutuhan pembangunan, keutuhan bangsa, keamanan dan ketertiban, dan semacamnya.

Apakah di era reformasi sekarang umat Islam masih juga terperangkap oleh isu seperti itu? Masya Allah.

Banyak sudah disiapkan forum yang menseminarkan adanya pluralitas agama. Ironisnya juga termasuk oleh lembaga Islam sendiri. Apakah umat Islam sudah terbawa oleh isu pluralitas agama sehingga mereka siap menjadi warga negara yang `baik-baik` yang nantinya diam saja walau kebijakan sosial-politik di negeri ini bervisi non-Islami atau bahkan mereka akan oke saja bila dipimpin oleh orang lain dalam kehidupan sosial-politik (dengan alasan orang lain itu lebih mampu di bidang manajemen, sedang kita ini masih bodoh di bidang itu). Allahu Akbar.

Sampai saat ini tidak ada upaya umat, khususnya cendekiawan muslim atau ulama dan aktivis Islam menseminarkan makna mayoritas muslim di negeri ini terhadap implikasi kebijakan sosial-politik di negerinya. Belum satupun lembaga Islam, apalagi lembaga pemerintahan, yang membuat seminar nasional-internasional: ‘Implikasi Kebijakan Sosial-politik bagi Negara yang Mayoritas Penduduknya Muslim” agar bisa ditimbang secara rasional bentuk-bentuk kebijakan dan kepemimpinan nasional mana yang efektif bagi kemajuan bangsa-negara semacam itu (buat pula komparasi dengan negara yang mayoritas penduduknya beragama lain, seperti Barat, China, Jepang, yang membangun negerinya dengan pola sekuler).



Teori dan Paradigma

Semua orang kalau ditanya dalam suatu poling pendapat, nyaris semua akan mengaku ingin membuat bangsa-negara Indonesia menjadi maju dan besar. Tapi mari coba ditanya atau ditelusuri teori dan paradigma pembangunan apa yang akan mereka pakai untuk membuat Indonesia menjadi bangsa-negara yang jaya. Bisakah negeri ini menjadi negeri maju bila kepada mayoritas penduduknya yang muslim itu diberlakukan kebijakan sosial-politik yang non-Islami?

Cara seperti itu jauh panggang dari api. Mayoritas bangsa akan kehilangan identitas diri, dan akhirnya akan menjadi gerombolan munafik yang kehilangan kepercayaan dan kepribadian sehingga menjadi makanan lunak bagi serigala hedonis berskala internasional. Bangsa mana yang berhasil menjadi bangsa besar bila mayoritas warganya bersifat munafik, tidak berkepribadian, dan lemah dalam aqidah-syariahnya.

Kualitas suatu bangsa ditentukan oleh kualitas mayoritas penduduknya, bukan oleh kualitas minoritasnya.

“When majority gets empowered, the minority will be carried away (not the reverse!), and the nation will be powerful”. Tatkala mayoritas bangsa yang muslim itu menjadi maju maka minoritas akan terikut maju (tidak sebaliknya!), dan negarapun akan menjadi kokoh-kuat.

Ini tantangan! Mungkinkah mayoritas penduduk Indonesia yang muslim itu bisa maju jika diberlakukan pada mereka model pembangunan yang non-syar’i?

Mari kita menjadi rasional, jangan antipati atau menolak syariat sosial-kenegaraan yang diajarkan Allah swt untuk membangun bangsa-negara Indonesia tercinta ini.n



Indonesia, 21 Februari 2009

Kamis, 19 Februari 2009

Mentafsirkan Al-Qur’an

Mentafsirkan Al Qur'an, sesungguhnya adalah hal yang sangat berat untuk dilakukan. sejak jaman kesarjanaan muslim di era Kekhalifahan Rasyidin, Muawiyah, Abbasyiah, hingga Utsmaniyah, tidak pernah ada permasalahan tentang metode pentafsiran Al Qur'an. tetapi, kini, ditengah rusaknya aqidah umat Islam, muncul metode Hermeunetika yang dikembangkan oleh para orientalis kafir barat dan berkeinginan untuk menggantikan metode tafsir milik para sarjana Islam yang telah berkembang berabad-abad dimana metode ini tentunya sahih secara keilmuan dan secara kemanhajan.
tulisan dibawah ini, memberikan jawaban kepada kita, bagaimana seharusnya mentafsirkan Al Qur'an
di copy paste dari musholla.com, website resmi UKKI FKG UNAIR

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : "Apa yang harus dilakukan untuk dapat menafsirkan Al-Qur’an ?"


Jawaban.

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menurunkan Al-Qur’an ke dalam hati nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar beliau mengeluarkan manusia dari kekufuran dan kejahilan yang penuh dengan kegelapan manuju cahaya Islam.

Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Al-Qur’an surat Ibrahim : 1.

"Artinya : Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Rabb mereka, (yaitu) menuju jalan Rabb Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji".

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menjadikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai orang yang berhak mejelaskan, menerangkan, dan menafsirkan isi Al-Qur’an.

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam surat An-Nahl : 44

"Artinya : Keterangan-keterangan (mu’jizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kami menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan".

Sunnah berfungsi sebagai penafsir dan penjelas isi Al-Qur’an, dan sunnah ini juga merupakan wahyu karena yang diucapkan oleh Rasullullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bukan hasil pemikiran Rasulullah, tetapi semuanya dari wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana ditegaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Al-Qur’an surat An-Najm : 3-4.

"Artinya : Dan tidaklah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)".

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi Al-Qur’an dan sesuatu yang hampir sama dengan Al-Qur’an. Ketahuilah, akan ada seorang lelaki kaya raya yang duduk di atas tempat duduk yang mewah dan dia berkata, "Berpeganglah kalian kepada Al-Qur’an. Apapun yang dikatakan halal didalam Al-Qur’an, maka halalkanlah, sebaliknya apapun yang dikatakan haram dalam Al-Qur’an, maka haramkanlah. Sesungguhnya apapun yang diharamkan oleh Rasulullah, Allah juga mengharamkannya" [Takhrijul Misykat No. 163]

Untuk itu cara menafsirkan Al-Qur’an adalah.

Cara Pertama.

Adalah dengan sunnah. Sunnah ini berupa : ucapan-ucapan, perbuatan-perbuatan, dan diamnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Cara Kedua.

Adalah dengan penafsiran para sahabat. Dalam hal ini pelopor mereka adalah Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu. Ibnu Mas’ud termasuk sahabat yang menemani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sejak dari awal dan dia selalu memperhatikan dan bertanya tentang Al-Qur’an serta cara memahaminya dan juga cara menafsirkannya. Sedangkan mengenai Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud pernah berkata : "Dia adalah penerjemah Al-Qur’an". Oleh karena itu tafsir yang berasal dari seorang sahabat harus kita terima dengan lapang dada, dengan syarat tafsir tersebut tidak bertentangan dengan tafsiran sahabat yang lain.

Cara Ketiga.

Yaitu apabila suatu ayat tidak kita temukan tafsirnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat, maka kita cari tafsiran dari para tabi’in yang merupakan murid-murid para sahabat, terutama murid-murid Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas, seperti : Sa’ad bin Juba’ir, Thawus. Mujahid, dan lain-lain.

Sangat disayangkan, sampai hari ini banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an yang tidak ditafsirkan dengan ketiga cara di atas, tetapi hanya ditafsirkan dengan ra’yu (pendapat/akal) atau ditafsirkan berdasarkan madzhab yang tidak ada keterangannya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara langsung. Ini adalah masalah yang sangat mengkhawatirkan apabila ayat-ayat Al-Qur’an ditafsirkan hanya untuk memperkuat dan membela satu madzhab, yang hasil tafsirnya bertentangan dengan tafsiran para ulama ahli tafsir.

Untuk menunjukkan betapa bahayanya tafsir yang hanya berdasarkan madzhab, akan kami kemukakan satu contoh sebagai bahan renungan yaitu tafsir Al-Qur’an surat Al-Muzammil : 20.

"Artinya : Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur’an"

Berdasarkan ayat ini, sebagian penganut madzhab berpendapat bahwa yang wajib dibaca oleh seseorang yang sedang berdiri shalat adalah ayat-ayat Al-Qur’an mana saja. Boleh ayat-ayat yang sangat panjang atau boleh hanya tiga ayat pendek saja. Yang penting membaca Al-Qur’an. (tidak harus Al-Fatihah -pent-).

Betapa anehnya mereka berpendapat seperti ini, padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca pembuka Al-Kitab (surat Al-Fatihah)" [Shahihul Jaami' No. 7389]

Dan di hadits lain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Barangsiapa yang shalat tidak membaca surat Al-Fatihah maka shalatnya kurang, shalatnya kurang, shalatnya kurang, tidak sempurna" [Shifatu Shalatain Nabiy hal. 97]

Berdasarkan tafsir diatas, berarti mereka telah menolak dua hadits shahih tersebut, karena menurut mereka tidak boleh menafsirkan Al-Qur’an kecuali dengan hadits yang mutawatir. dengan kata lain mereka mengatakan, "Tidak boleh menafsirkan yang mutawatir kecuali dengan yang mutawatir pula". Akhirnya mereka menolak dua hadits tersebut karena sudah terlanjur mempercayai tafsiran mereka yang berdasarkan ra’yu dan madzhab.

Padahal semua ulama tafsir, baik ulama yang mutaqaddimin (terdahulu) atau ulama yang mutaakhirin (sekarang), semuanya sependapat bahwa maksud ‘bacalah’ dalam ayat di atas adalah ’shalatlah’. Jadi ayat tersebut maksudnya adalah : "Maka shalatlah qiyamul lail (shalat malam) dengan bilangan raka’at yang kalian sanggupi".

Tafsir ini akan lebih jelas apabila kita perhatikan seluruh ayat tersebut.

"Artinya : Sesungguhnya Rabbmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (shalat) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang besama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur’an. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah ; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur’an dan dirikanlah shalat, tunaikan zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".

Ayat tersebut jelas tidak ada hubungannya dengan apa yang wajib dibaca di dalam shalat. Ayat tersebut mengandung maksud bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberi kemudahan kepada kaum muslimin untuk shalat malam dengan jumlah raka’at kurang dari yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu sebelas raka’at. Inilah maksud sebenarnya dari ayat tersebut.

Hal ini dapat diketahui oleh orang-orang yang mengetahui uslub (gaya/kaidah bahasa) dalam bahasa Arab. Dalam uslub bahasa Arab ada gaya bahasa yang sifatnya "menyebut sebagian" tetapi yang dimaksud adalah "keseluruhan"[1]

Sebagaimana kita tahu bahwa membaca Al-Qur’an adalah bagian dari shalat. Allah sering menyebut kata "bacaan/membaca" padahal yang dimaksud adalah shalat. Ini untuk menunjukkan bahwa membaca Al-Qur’an itu merupakan bagian penting dari shalat.

Contohnya adalah dalam surat Al-Isra’ : 78

"Artinya : Dirikanlah shalat dari tergelincir matahari (tengah hari) sampai gelap malam (Dzuhur sampai Isya). Dan dirikanlah pula bacaan fajar"

Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebut ‘qur’ana al-fajri’. Tapi yang dimaksud adalah shalat fajar (shalat shubuh). Demikianlah salah satu uslub dalam bahasa Arab.

Dengan tafsiran yang sudah disepakati oleh para ulama ini (baik ulama salaf maupun ulama khalaf), maka batallah pendapat sebagian penganut madzhab yang menolak dua hadits shahih di atas yang mewajibkan membaca Al-Fatihah dalam shalat. Dan batal juga pendapat mereka yang mengatakan bahwa hadits ahad tidak boleh dipakai untuk menafsirkan Al-Qur’an. Kedua pendapat tersebut tertolak karena dua hal.
Tafsiran ayat di atas (Al-Muzzammil : 20) datang dari para ulama tafsir yang semuanya faham dan menguasai kaidah bahasa Al-Qur’an.
Tidak mungkin perkataan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertentangan dengan Al-Qur’an. Justru perkataan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu menafsirkan dan mejelaskan isi Al-Qur’an.

Jadi sekali lagi, ayat di atas bukan merupakan ayat yang menerangkan apa yang wajib dibaca oleh seorang muslim di dalam shalatnya. Sama sekali tidak. baik shalat fardhu atau shalat sunat.

Adapun dua hadits di atas kedudukannya sangat jelas, yaitu menjelaskan bahwa tidak sah shalat kecuali dengan membaca Al-Fatihah. Sekarang hal ini sudah jelas bagi kita.

Oleh karena itu seharusnya hati kita merasa tentram dan yakin ketika kita menerima hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan dalam kitab-kitab sunnah/kitab-kitab hadits yang sanad-sanandnya shahih.

Jangan sekali-kali kita bimbang dan ragu untuk menerima hadits-hadits shahih karena omongan sebagian orang yang hidup pada hari ini, dimana mereka berkata : "Kami tidak menolak hadits-hadits ahad selama hadits-hadits tersebut hanya berisi tentang hukum-hukum dan bukan tentang aqidah. Adapun masalah aqidah tidak bisa hanya mengambil berdasarkan hadits-hadits ahad saja".

Demikian sangkaan mereka. padahal kita tahu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus Mu’adz bin Jabal untuk berdakwah, mengajak orang-orang ahli kitab untuk berpegang kepada aqidah tauhid [Shahih Bukhari No. 1458, Shahih Muslim No. 19], padahal Mu’adz ketika itu diutus hanya seorang diri (berarti yang disampaikan oleh Mu’adz adalah hadits ahad, padahal yang disampaikan adalah menyangkut masalah aqidah -pent-).

Disalin kitab Kaifa Yajibu ‘Alaina Annufasirral Qur’anal Karim, edisi Indonesia Tanya Jawab Dalam Memahami Isi Al-Qur’an, Penulis Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, terbitan Pustaka At-Tauhid, penerjemah Abu Abdul Aziz

Foote Note.
Misalnya : Menyebut ‘bacaan Al-Qur’an’ tetapi yang dimaksud adalah shalat karena bacaan Al-Qur’an itu bagian dari shalat. Menyebut kata nafs (=jiwa, nyawa) tetapi yang dimaksud adalah manusia, Menyebut ‘darah’ atau ‘memukul’ padahal yang dimaksud adalah membunuh (-pent-)

Jumat, 13 Februari 2009

Renungan : Apa Sih Valentine day ?

Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang di muka bumi ini, nescaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti prasangka belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).(Surah Al-An'am : 116)
Hari 'kasih sayang' yang dirayakan oleh orang-orang Barat pada tahun-tahun terakhir disebut 'Valentine Day' amat popular dan merebak di pelusuk Indonesia bahkan di Malaysia juga. Lebih-lebih lagi apabila menjelangnya bulan Februari di mana banyak kita temui jargon-jargon (simbol-simbol atau iklan-iklan) tidak Islami hanya wujud demi untuk mengekspos (mempromosi) Valentine. Berbagai tempat hiburan bermula dari diskotik(disko/kelab malam), hotel-hotel, organisasi-organisasi mahupun kelompok-kelompok kecil; ramai yang berlumba-lumba menawarkan acara untuk merayakan Valentine. Dengan dukungan(pengaruh) media massa seperti surat kabar, radio mahupun televisyen; sebagian besar orang Islam juga turut dicekoki(dihidangkan) dengan iklan-iklan Valentine Day.
Sejarah Valentine:
Sungguh merupakan hal yang ironis(menyedihkan/tidak sepatutnya terjadi) apabila telinga kita mendengar bahkan kita sendiri 'terjun' dalam perayaan Valentine tersebut tanpa mengetahui sejarah Valentine itu sendiri. Valentine sebenarnya adalah seorang martyr (dalam Islam disebut 'Syuhada') yang kerana kesalahan dan bersifat 'dermawan' maka dia diberi gelaran Saint atau Santo.

Pada tanggal 14 Februari 270 M, St. Valentine dibunuh karena pertentangannya (pertelingkahan) dengan penguasa Romawi pada waktu itu iaitu Raja Claudius II (268 - 270 M). Untuk mengagungkan dia (St. Valentine), yang dianggap sebagai simbol ketabahan, keberanian dan kepasrahan dalam menghadapi cubaan hidup, maka para pengikutnya memperingati kematian St. Valentine sebagai 'upacara keagamaan'.

Tetapi sejak abad 16 M, 'upacara keagamaan' tersebut mulai beransur-ansur hilang dan berubah menjadi 'perayaan bukan keagamaan'. Hari Valentine kemudian dihubungkan dengan pesta jamuan kasih sayang bangsa Romawi kuno yang disebut Supercalis� yang jatuh pada tanggal 15 Februari.

Setelah orang-orang Romawi itu masuk agama Nasrani(Kristian), pesta 'supercalis' kemudian dikaitkan dengan upacara kematian St. Valentine. Penerimaan upacara kematian St. Valentine sebagai 'hari kasih sayang' juga dikaitkan dengan kepercayaan orang Eropah bahwa waktu 'kasih sayang' itu mulai bersemi 'bagai burung jantan dan betina' pada tanggal 14 Februari.

Dalam bahasa Perancis Normandia, pada abad pertengahan terdapat kata Galentine� yang bererti 'galant atau cinta'. Persamaan bunyi antara galentine dan valentine menyebabkan orang berfikir bahwa sebaiknya para pemuda dalam mencari pasangan hidupnya pada tanggal 14 Februari. Dengan berkembangnya zaman, seorang 'martyr' bernama St. Valentino mungkin akan terus bergeser jauh pengertiannya(jauh dari erti yang sebenarnya). Manusia pada zaman sekarang tidak lagi mengetahui dengan jelas asal usul hari Valentine. Di mana pada zaman sekarang ini orang mengenal Valentine lewat(melalui) greeting card, pesta persaudaraan, tukar kado(bertukar-tukar memberi hadiah) dan sebagainya tanpa ingin mengetahui latar belakang sejarahnya lebih dari 1700 tahun yang lalu.

Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa moment(hal/saat/waktu) ini hanyalah tidak lebih bercorak kepercayaan atau animisme belaka yang berusaha merosak 'akidah' muslim dan muslimah sekaligus memperkenalkan gaya hidup barat dengan kedok percintaan(bertopengkan percintaan), perjodohan dan kasih sayang.

Pandangan Islam
Sebagai seorang muslim tanyakanlah pada diri kita sendiri, apakah kita akan mencontohi begitu saja sesuatu yang jelas bukan bersumber dari Islam ?

Mari kita renungkan firman Allah: Dan janglah kamu megikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung jawabnya�. (Surah Al-Isra : 36)

Dalam Islam kata tahu berarti mampu mengindera(mengetahui) dengan seluruh panca indera yang dikuasai oleh hati. Pengetahuan yang sampai pada taraf mengangkat isi dan hakikat sebenarnya. Bukan hanya sekedar dapat melihat atau mendengar. Bukan pula sekadar tahu sejarah, tujuannya, apa, siapa, kapan(bila), bagaimana, dan di mana, akan tetapi lebih dari itu.

Oleh karena itu Islam amat melarang kepercayaan yang membonceng (mendorong/mengikut) kepada suatu kepercayaan lain atau dalam Islam disebut TAQLID. Hadits Rasulullah SAW: Barang siapa yang meniru atau mengikuti suatu kaum (agama) maka dia termasuk kaum (agama) itu.

Firman Allah SWT dalam Surah AL Imran(keluarga Imran) ayat 85: Barangsiapa yang mencari agama selain agama Islam, maka sekali-sekali tidaklah diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi

di copy paste dari muji.blog
by ADMIN

--