Kamis, 21 Agustus 2008

Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia

Sistem pendidikan di Indonesia merupakan masalah pelik yang tak berkesudahan. Sistem pendidikan yang dibangun berdasarkan sistem sekular-materialistik ini, diakui atau tidak, akhirnya malah membuat negeri ini tak kunjung bangkit dari keterpurukan nasional.
Hari ini, masalah pendidikan berkutat di mahalnya biaya, rendahnya mutu pendidikan, dan rendahnya kualitas SDM yang dihasilkan. Hal ini masih ditunjang dengan angkat tangannya pemerintah dalam bidang ini, dengan perubahan bentuk badan hukum sarana pendidikan menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN), dan diterapkannya kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
Berubahnya sekolah dalam bentuk badan hukum, menjadikan sekolah bebas untuk mematok harga setinggi-tingginya sebagi alasan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Sekolah menjadi wajib untuk mencari sumber dana pendidikan sendiri. Pemerintah menjadi tidak wajib lagi untuk mensejahterakan sekolah, dan menjamin setiap warganya untuk dengan mudah mengakses pendidikan bermutu.
Akibat paradigma diatas, kualitas kepribadian anak didik di Indonesia pun semakin memprihatinkan. Di ASEAN saja, Indonesia hanya mampu masuk pada tingkat ke 6 untuk indeks pendidikan, diatas negara-negara kecil ASEAN, yaitu Myanmar, Kamboja dan Laos.
Dalam konteks pendidikan Islam, Indonesia dewasa ini memang telah banyak memiliki pondok pesantren modern, dimana memiliki pendidikan Iptek dan Aqidah yang sejajar. Tetapi secara umum, pendidikan Islam selama ini hanya masuk sebagai muatan lokal yang ringan dan tidak signifikan. Pendidikan yang berbasis sekular ini, memisahkan kelembagaan pendidikan agama dengan lembaga pendidikan umum. Dikotomi pendidikan ini, tampak kesan yang sangat kuat bahwa pengembangan pendidikan ilmu kehidupan (Iptek) yang diselenggarakan oleh Depdiknas tidak ada hubungannya dengan pendidikan agama yang diselenggarakan oleh Departemen Agama.
Dalam kurikulum pendidikan umum, pendidikan agama memiliki cakupan yang tidak proporsional dan tidak dijadikan landasan bagi bidang pelajaran lainnya. Sehingga, tujuan pendidikan Nasional yang bertujuan untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya masih merupakan pertanyaan dengan tanda tanya besar.
Hasil dari sistem pendidikan ini memang bisa melahirkan orang yang menguasai sains – teknologi, tetapi gagal dalam mewujudkan kepribadian yang Islami dan penguasaan tsaqafah Islam. Sebaliknya, mereka yang belajar di lingkungan pendidikan Agama memang menguasai tsaqafah Islam dan secara relatif sisi kepribadiannya tergarap baik. Akan tetapi di sisi lain, ia buta terhadap perkembangan sains dan teknologi. Akhirnya sektor-sektor modern (industri, manufaktur, perdagangan, dan jasa ) diisi oleh orang yang awam terhadap agama, sedangkan orang yang mengerti agama terkumpul di dunianya sendiri (madrasah, dosen/guru agama, Depag ), tidak mampu terjun di sektor modern.
Memang, dewasa ini kita banyak memiliki pesantren modern (boarding school) dan sekolah Islam terpadu (fullday school) yang bertujuan untuk melindungi generasi muda dari pendidikan yang salah dan memberikan pendidikan Islam dan Iptek secara terpadu dan sejajar sehingga menghasilkan anak didik yang sesuai dengan harapan.
Kita dapat melihat betapa usaha-usaha itu dilakukan atas kecintaan umat kepada Islam dan generasi penerusnya. Dan tanpa mengurangi rasa penghargaan kita terhadap usaha itu, kita bisa secara obyektif melihat kelebihan dan kekurangan dari sekolah terpadu dan pesantren modern, untuk dapat lebih meningkatkan kelebihan yang dimiliki dan menutupi kekurangan yang ada.
Secara pembiayaan, sekolah-sekolah ini relatif mahal, tidak terjangkau oleh kalangan ekonomi lemah. Materi yang diberikan memang lebih banyak pada tsaqafah Islam dibandingkan sekolah umum, tetapi karena kurikulum pendidikan ditentukan oleh negara, pembentukan Syakhsyiyyah islamiyyah (kepribadian Islam) tidak menjadi program utama, tetapi lebih menekankan pada Ma’arif Islamiyyah (pengetahuan Islam). Pada interaksi lulusan anak didik dengan masyarakat, mereka tidak mampu untuk mengemban ideologi Islam karena aplikasi Islam yang diajarkan hanya pada ibadah ritual dan akhlak semata.
Hal tersebut diatas juga terjadi di sekolah-sekolah umum yang berbasis Islam, baik yang terakreditasi baik maupun sedang. Pendidikan yang memang harus sesuai dengan kurikulum yang berlaku, membuat para pengajar hanya bisa melakukan transfer ilmu dan bukan melakukan pendidikan karena terbatasnya waktu dan kurikulum yang ada.
Pendidikan Islam di Indonesia hingga saat ini tidak terbukti berhasil mencetak generasi yang rata-rata atau mayoritasnya menjadi pengemban ideologi Islam. Yang ada justru sebaliknya, umumnya alumni pondok pesantren ataupun sekolah Islam larut dalam lingkungan masyarakat pergaulannya. Yang bertemu penganut sosialis, menjadi aktivis sosialis kiri, yang bertemu paham sekular liberalis, menjadi aktivis gerakan sekular liberal, dan yang bertemu dengan gerakan Islam, menjadi aktivis gerakan Islam.
Pendidikan Islam yang Sebenarnya (Seharusnya)
Pada dasarnya, sistem pendidikan Islam di dasarkan pada sebuah kesadaran bahwa setiap muslim wajib menuntut ilmu dan tidak boleh mengabaikannya.
Dalam penyelenggaraan pendidikan di sebuah negara, atas dasar tersebut diatas, negara tidak hanya berkewajiban menyediakan pendidikan yang bebas biaya, tetapi juga berkewajiban bertindak sebagai penyelenggara sistem pendidikan yang berkualitas dengan asas pendidikan akidah Islam dan tujuan untuk mengembangkan manusia yang berkepribadian Islam, menguasai Tsaqafah Islam , menguasai ilmu kehidupan yang memadai, yang selalu menyelesaikan masalah kehidupannya sesuai syariat Islam.
Seorang peserta didik harus dikembangkan semua jenis kecerdasannya, intelektual, spiritual, emosional dan politiknya, karena semua itu diperlukan dalam menjalankan kehidupan. Negara juga berkewajiban menyediakan SDM pendidik dan tenaga pendidikan yang berkualitas dan sesuai dengan ilmu yang diperlukan. Untuk itu, sekolah untuk calon pendidik pun harus bermutu dan tersedia fasilitas yang memadai.
Swasta boleh saja menyediakan pula sarana pendidikan, dan dengan pembinaan negara, tidak berarti dengan itu negara bisa berlepas tangan dengan kewajiban pendidikan. Negara berkewajiban pula mendorong peningkatan peran dan kemampuan keluarga dalam mendidik dan mendorong terciptanya suasana kondusif bagi pendidikan di masyarakat.
Insya Allah, dengan metode pendidikan yang didasarkan atas syariat Islam dan hukum Islam, pendidikan Islam di Indonesia akan menjadi sebuah fenomena baru yang mampu menciptakan generasi yang islami dan berkepribadian Islam.
Wallahu a’lam Bisshawab....
Irfan S. Roniyadi