Kamis, 31 Juli 2008

"NEGERI YANG KAYA"

Kalau kita amati Jakarta, apa yang tidak ada di sana..? Gedung tinggi menjulang. Mobil sangat banyak. sampai-sampai terjadi kemacetan di mana-mana.Supermarket bertebaran, jalan-jalan "menyempit" sampai menganggu orang-orang yang mau ke supermarket. diskotik dan restoran bertebaran di mana-mana. "Betapa kayanya negri ini". Namun di sisi lain, waktu saya naik kereta api dari stasiun gubeng ke stasiun pasar senen, nampak di balik gedung-gedung mewah itu rumah-rumah kumuh hampir rubuh. sampah berserakan di kanan-kiri rel. Bau busuk menyengat! Entah-lah...., seperti apa kondisi penduduk yang tinggal di sana...?. Mungkin mereka tidak sedih kalau pulang kampung bisa cerita, "Aku tinggal di belakang hotel bintang lima lho!" Juga, bertapa kayanya negeri ini. kalau kita masuk ke beberapa supermarket, nampak di sana berjajar makanan, minuman, buah-buahan yang cukup menggoda terpajang disana. kita lihat juga banyak cake dan bakery berjajar. Juga kalau kita lihat iklan-iklan di TV, betapa iklan rokok dalam negeriyang sangat memukau, tidak kalah dengan rokok Marlboro-nya AS. Kalau kita lihat sinetron, betapa banyak villa-villa yang cukup mewah yang dimiliki orang negri ini. Namun di sisi lain, ceritanya jadi berbeda. Penjual durian di Parung, Bogor, dan Lampung, tampak tetap hidup "khas petani desa". Petani coklat dan vanili, bahan untuk cake dan bakery, nasibnya tidak pernahberubah. Petani Temanggung sudah beberapa tahun ini rugi terus. Sementara kehidupan perkotaan persis seperti sinetron. Bajaj Bajuri. Indonesia terkenal sebagai negeri yang sangat hebat di dunia. Tekstil yang di pakai para profesor di AS buatan Arcamanik, Bandung. Bola yang di pakai pada Piala Dunia tahun 1998 dan 2002 buatan penduduk PrianganTimur. Orang Indonesia sangat hebat karena merekalah yang mengerjakannya tipa hari, tahap demi tahap, warna demi warna, sampai pernik-pernik kecil. sementara perusahaan Adidas, perusahaan internasional yang katanya terdiri dari tenaga-tenaga ahli itu, kerjanya sepisialis nyetempel dan menguruh hak paten. Namun di sisi lain, apakah pernah dalam benak David Beckham dan Zinedine Zidane daat menendang bola mampir kosa kata "Priangan Timur"? Tampak kok cuma "Adidas" yang terlintas dalam kepala mereka. Kiranya kita terlalu panjang angan-angan kalau sampai mereka ingat Ciamis, Tasikmalaya, Malangbong...., apalagi ingat mang encep dan Abah Ucup yang selalu mentelateni bola-bola itu, yang kehidupannya juga tidak pernah berubah.kita tidak tau diri kalau sampai berharap Bill Gates ingat Archamanik! Apalagi ingat Mas Marmo dan Mas Nardi, dua orang yang bekerja di pabrik tekstil Arcamanik, yang rumah kontraknnya masih di bawah standar Bajuri. sayang Mas Marmo tidak kenal Bill Gates. Andai kenal pemilik microsoft itu, siapa tau ia akan berfikir, "Jas yang ia pakai itu tuh..., jangan-jangan kainnya dulu yang nglipat aku!" ungkapan Jean Charles de Sismondi, kritikus mazhab Adam Smith, nampaknya patut kita renungkan. Ia mempertanyakan: kekayaan milik manusia, atau manusiamilik kekayaan?

oleh:
Mujianto

Selasa, 08 Juli 2008

Menggugat Eksistensi Ideologi Pancasila

Pancasila, yang di cetuskan oleh alm. Soekarno, hingga kini masih diposisikan sebagai sesuatu yang suci bagi para pemimpin bangsa. Pancasila, dengan lima sila yang ada sekarang, dinisbatkan sebagai sumber dari segala sumber hukum, ideologi bangsa, asas tunggal partai politik, hingga falsafah hidup bangsa. Keberadaan Pancasila tak pernah diperdebatkan, dan selalu diletakkan diatas kepala, tanpa ada penggugatan terhadap eksistensinya.
Ironisnya, beberapa orang menjadikan Pancasila lebih suci dari Al Qur’an sebagai sumber hukum dan teks suci. Hal ini tampak pada para Liberalis, yang selalu mengusung ketidak samaan tafsir, dengan metode hermeunetika-nya, tidak pernah sekalipun memberlakukan metode Hermeunetika sebagai penafsir Pancasila, mengkritik dan menghujat pasal-pasal ataupun butir-butirnya, menganggap bahwa Pancasila adalah hal yang tidak perlu diperdebatkan, tetapi mereka dengan leluasa meng-hermeunetika-kan Al Qur’an dan memposisikan Al Qur’an sebagai teks yang harus dikritik dan dibedah dengan cara di konfrontasikan dengan sejarah ataupun kepentingan khalifah yang mengumpulkan tulisan Al Qur’an menjadi satu kitab, yaitu Khalifah Utsman Bin Affan, sebagai pencetus Mushaf Utsmani. Padahal pencetus Pancasila, dalam perjalanannya bukanlah orang yang memiliki gelar Al Amin, ataupun seorang Rasul yang terjamin dari kesalahan. Soekarno adalah seorang manusia biasa dan tidak luput dari kesalahan-kesalahan yang pada akhir pemerintahannya justru memaksanya jatuh dengan tidak hormat.
Pancasila adalah sebuah lima sila yang merupakan hasil olah pikir manusia, dan oleh karenanya pasti memiliki keterbatasan sebagaimana manusia itu sendiri. Pada sejarahnya pula, Pancasila mengalami perubahan yang sangat krusial terhadap sila pertamanya, pada detik-detik Proklamasi Kemerdekaan RI pada tahun 1945. Sebagaimana tertulis dalam sejarah, sila pertama yang disetujui dalam piagam Jakarta adalah berbunyi Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Ini diubah oleh Soekarno menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa, tanpa meminta persetujuan kepada para pendeklarator piagam Jakarta.
Kini, Pancasila sangat identik dengan dua kalimat, yaitu Ideologi Pancasila dan Demokrasi Pancasila. dua kalimat ini menjadi senjata dalam kehidupan berbangsa pemerintah Indonesia, dimana ketika ada segolongan kelompok memperjuangkan tegaknya Syariat Islam, maka akan dicap sebagai pengkhianat Pancasila, tidak mengusung keberagaman Pancasila, dan mengancam integrasi bangsa. Partai partai Islam di parlemen pun latah dengan bentuk ideologi ini, sehingga dengan mudahnya “menjual” akidah mereka dengan menerima Pancasila sebagai asas Partai.
Demokrasi, dimana telah kami tulis di artikel sebelumnya ternyata sangat sarat dengan kebobrokan dan kerusakan. Betapa tidak jelas bentuknya ketika Pancasila yang hanya merupakan 5 norma ini disandingkan menjadi sebuah ideologi bangsa.
Pancasila jelas-jelas tidak memenuhi syarat-syarat mutlak menjadi ideologi. Menurut Syaikh Taqiyuddin An Nabhani, dalam kitabnya Nidhomul Islam, beliau memaparkan syarat sesuatu layak disebut sebagai ideologi. Ideologi, atau Mabda’ adalah pemikiran yang menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan hidup, serta tentang apa yang ada sebelum dan setelah kehidupan, disamping hubungannya dengan sebelum dan sesudah alam kehidupan. Sedangkan peraturan yang lahir dari ini, tidak lain berfungsi untuk memecahkan dan mengatasi berbagai problematika hidup manusia, menjelaskan bagaimana cara pemecahannya, serta memelihara ideologi itu sendiri.
Tiga ideologi yang ada di dunia, yaitu Islam, Kapitalisme, dan Komunisme, berhasil menjawab pertanyaan tersebut.
Pertanyaan untuk Islam, Kapitalisme, Komunisme
1. Darimanakah kehidupan berasal ?

Islam menjawab : Allah
Kapitalisme menjawab : Tuhan
Komunisme menjawab : Materi
2. Untuk apakah kehidupan ini ?

Islam menjawab : Ibadah
Kapitalisme menjawab : Materi
Komunisme menjawab : Materi
3. Kemanakah kita setelah kehidupan berakhir (mati) ?

Islam menjawab : Allah
Kapitalisme menjawab : Tuhan
Komunisme menjawab : Materi

Mari kita lihat, bahwa Pancasila sama sekali tidak mampu menjawab tiga pertanyaan tersebut. Sehingga, karena tidak jelasnya Ideologi Pancasila itu, maka dalam perjalanannya Ideologi Pancasila mengadopsi metode Ideologi lain yang eksis di dunia untuk mengatasi masalah di Indonesia. Di masa orde lama, Pancasila mengadopsi ideologi komunis untuk mengatasi problematika hidup. Di masa orde baru dan orde reformasi (?) Kapitalisme di adopsi sebagai cara untuk mengatasi problematika hidup. Hal itu tentu saja gagal, karena setiap ideologi menuntut ke-kaffah-an (keseluruhan) dalam menerapkan sistemnya. Rusia menjadi besar dengan Uni Sovyet-nya karena menerapkan Komunisme secara kaffah. Dan Amerika berhasil menguasai dunia karena menjadikan Kapitalisme sebagai ideologi yang diembannya secara kaffah pula. Ke-kaffah-an mereka ditunjukkan dengan cara menerapkan politik imperialisme, penjajahan, pendudukan, dan pemaksaan negara lain untuk menjadikan kapitalisme atau komunisme sebagai ideologinya. Mereka konsisten dengan metodenya, sehingga, dengan cara itu, mereka berhasil menjadi penguasa dunia.
Sedangkan ketika kita memaksakan diri untuk menjadikan Pancasila kaffah di Indonesia, maka kita akan kesulitan sendiri, karena Pancasila tidak memiliki metode dalam menerapkannya. Sebagai contoh, ketika kita menyusun politik luar negeri, kita berusaha menciptakan politik luar negeri bebas aktif. Menurut pencetusnya, ini adalah hasil dari ideologi Pancasila. Tetapi ketika kita berhadapan dengan negara lain, kita menerapkan asas manfaat, yaitu apa manfaatnya bagi Indonesia. Padahal asas manfaat adalah milik Kapitalisme, sebagaimana Komunisme memiliki asas Materi dan Islam memiliki asas dakwah. Pancasila, juga tidak memiliki metode bagaimana mengembannya ke seluruh dunia, ataupun mempertahankan eksistensi dirinya sebagai ideologi. Karena sekali lagi, ideologi harus pula memiliki metode mempertahankan eksistensi dirinya.
Namun demikian, adanya jawaban untuk tiga pertanyaan mendasar sebuah ideologi serta metode dalam mempertahankan dan menyebarluaskannya bukan berarti ideologi itu adalah ideologi yang benar, karena sebuah ideologi haruslah pula memiliki landasan berpikir (qaidah fikriyah) yang benar, yaitu kesesuaian ideologi dengan fitrah manusia. Artinya, selain mengakui kemampuan manusia dalam kehidupan, ideologi itu juga harus mengakui kelemahan dan kebutuhan diri manusia akan eksistensi sang Maha Pencipta, sebagai kebutuhan yang sudah built in yaitu gharizah at tadayyun (naluri beragama). Ideologi haruslah mengakui bahwa manusia tidaklah mampu menciptakan aturan bagi dirinya sendiri, dan senantiasa penuh dengan keterbatasan. Apabila hal ini tidak terpenuhi, maka dengan sendirinya ideologi itu bathil.
Hal inilah yang menunjukkan kekalahan ideologi lain dibandingkan dengan ideologi Islam. Islam tidak hanya menjawab berbagai pertanyaan tentang kehidupan dan akhirat, tetapi juga memiliki metode, dan landasan berpikir yang sesuai dengan fitrah manusia sebagai makhluk yang serba terbatas.
Dari sini, bisa kita tarik kesimpulan, bahwa Pancasila, bukanlah sesuatu yang terlalu istimewa ataupun ideologi yang mampu menjadi landasan berpikir manusia. Dan dari sini pula kita dapat memahami mengapa ideologi Islam haruslah menjadi ideologi utama kita dalam mengarungi kehidupan, baik secara pribadi, berkeluarga, bermasyarakat, hingga bernegara.
“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” QS. Ar Rahman (55)

Wallahu a’lam bi asshowab

Irfan S. Roniyadi